Oleh: Agus K. Saputra
NusantaraInsight, Mataram — Diskusi “Teater Modern” pada Sabtu, 7 Desember 2024, pukul 19.30-22.00 WITA, di halaman Gedung D FKIP Universitas Mataram, diselenggarakan Teater Putih. Diskusi dengan peserta terbatas ini menarik perhatian banyak orang. Pasalnya, menghadirkan Adi Pranajaya, pendiri Teater Putih saat menjadi mahasiswa di FKIP Universitas Mataram pada 1982 dulu.
Adi Pranajaya yang kini berkiprah sebagai sutradara film dan menetap di Jakarta sejak 1987, mengawali obrolannya dengan mengatakan, “Teater modern membutuhkan kemampuan seni akting yang prima.”
Menurut Adi Pranajaya, banyak orang terjebak pada apa yang dimaksud dengan “seni akting”. Seperti, ketika melihat beberapa anak kecil bermain dokter-dokteran di teras rumah. Ada yang berperan sebagai pasien dan ada yang menjadi dokter. Kemudian seketika itu kita menyebut bahwa mereka sedang berakting. “Itu buka akting, tetapi imitating yaitu peniruan atau meniru-niru,” kata lelaki asal Sumbawa dengan karya film pertamanya Perang Sapugara (1994) ini.
Termasuk juga ketika melihat ada orang yang selalu membawakan dirinya di luar kebiasaan. Seperti berjalan dengan kecenderungan yang berbeda dari kepribadiannya akibat terpengaruh oleh lingkungan, atau orang-orang yang mungkin selama ini diidolakan. “Itu juga bukan akting. Itu adalah behaving atau berperilaku,” katanya.
Lalu apa dan bagaimana seni-akting? Adalah sesuatu yang telah “menjadi” atau “menyatu”. Adi Pranajaya kemudian mengarahkan telapak tangan kirinya ke depan, sementara telapak tangan dan jari-jari kanannya memegang atau menempel erat tangan dan jari kirinya. Kedua tangannya itu kemudian digerakkan dan seakan-akan telah “menjadi” atau “menyatu”.
Ketika Umar Kayam yang memerankan tokoh Bang Karno dalam film G-30 S PKI sutradara Arifin C. Noer, salah satu adegannya mengucapkan, “Fitnah lebih kejam dari pembunuhan”. Sungguh ucapan yang benar-benar sama seperti yang diucapkan Bung Karno – sama-sama merasakan kepedihan bagaimana difitnah. Dan secara keseluruhan, Umar Kayam menunjukkan kemampuannya yang prima saat memerankan tokoh Bung Karno.
Pada pertunjukan Teater Modern oleh Teater Populer atau Teater Kecil di Jakarta juga, para aktornya begitu prima memerankan tokoh-tokoh dalam lakon yang dpentaskan. Bahkan, dalam beberapa kali pertunjukan, beberapa aktor yang sama, menunjukkan kepiawaiannya yang prima. Mereka berhasil “menjadi” dan “menyatu” dengan karakter tokoh yang dimainkan.
Seni akting, lanjut Adi Pranajaya, bukan tahapan akhir setelah melewati fase imitating dan atau behaving. Seni akting adalah sebuah ilmu yang pemahamannya sejak awal dan proses menuju seni akting yang prima dilakukan melalui jalur tersendiri.