Petualangan Spiritual Tak Berujung Syahriar Tato

Petualangan Spiritual Tak Berujung Syahriar Tato
Petualangan Spiritual Tak Berujung Syahriar Tato

Catatan M.Dahlan Abubakar

NusantaraInsight, Makassar — Membahas sebuah buku puisi merupakan pekerjaan yang menguras pikiran. Orientasi seorang penyair terhadap karyanya adalah ekspresi diri, yakni mengungkapkan pikiran, perasaan, pengalaman dan pandangan hidupnya. Oleh sebab itu, kita hampir tidak layak untuk menolak kehadiran karyanya, apapun warnanya. Yang pantas kita lakukan adalah menginterprestasi frasa atau konteksnya.

Para pembahas puisi bertugas memaknai melalui interpretasi, tentang kata, frasa, klausa, dan kalimat, pun konteks yang tertuang di dalam puisi. Ketika para pembahas memberi interpretasi terhadap puisi, terkadang sang penyair sendiri tidak pernah membayangkan bahwa karyanya itu dibongkar dari beragam sudut.

Jika kita menganalisisnya dari segi teori, maka akan berhubungan dengan strukturalisme, feminisme, psikoanalisis, dan marxisme. Namun dari segi isi, puisi bisa membawa kita ke alam filsafat dan sufisme seperti yang sempat disinggung oleh Dr.Syafruddin Mukhtamar, S.H.,M.H. dan Prof. Dr.Mardi Adi Armin, M.Hum yang menjadi pembahas. Hal ini disebabkan, puisi lahir dari proses aktivitas kontemplatif yang intens dari seorang intelektual.

BACA JUGA:  Membaca Kisah Hidup Fiam Mustamin

Seorang penyair merangkul alam dunianya melalui kata batin kemudian mengurainya ke dalam berbagai segmentasi atau aspek. Bisa berkadar emosional ketika dia menyampaikan emosi diri. Contoh Chairil Anwar dengan puisi “Aku”-nya yang tersohor itu. Dalam kadar emosi ini, dia pun bisa melakukan introspeksi diri. Ada kesadaran diri. Lihat saja “Mengejar Tapak Allah (1) karya Syahriar Tato yang didiskusikan di Memori RR Jl.Wijaya Kusuma, Banta-Bantaeng, Kamis (9/1/2025) petang yang dimoderatori Jesy Heny Taroko (Jurnalis dan Penulis).

Kita melihat bagaimana seorang Syahriar Tato membuka puisi Episode Pertama bertajuk “Mengejar Tapak Allah” dengan instrospeksi dan penyerahan diri kepada Rabb-nya.

“Ya Rabb’ Arsy/Aku hanyalah debu sebesar zarah (bentuk tidak baku: zarra)/yang telah Engkau panggil/Dengan isyarat bintang/Tidak lain untuk bersujud ke tapak-Mu/.

Terlepas dari penggunaan huruf kapital terhadap sapaan Tuhan (Engkau, yang sudah saya koreksi dalam tulisan ini), puisi ini merupakan bentuk pengakuan diri yang bersumber dari emosi seorang penyair. Dalam segmentasi ini, seorang penyair pun bisa berempati, menggambarkan perasaan orang lain dalam dirinya melalui ungkapan pikiran dan perasaannya melalui puisi.

BACA JUGA:  Paralel Reality Panggung Gembira Sao Panrita Center

Sebagaimana diungkapkan Mardi Adi Armin dalam diskusi tersebut, di dalam diri seorang ada aspek intelektual,yakni bagaimana dia merefleksi kehidupan dan masyarakat. Juga bagaimana dia melancarkan kritik sosial yang kita kenal banyak dilakukan oleh banyak penyair kita.