Oleh Denny JA
NusantaraInsight, Madinah — Saya menulis esai ini, di hadapan lukisan alam jutaan tahun,
gunung-gunung batu yang terukir oleh angin dan waktu.
Saya sedang duduk di AlUla, tanah sunyi yang menyimpan gema para nabi.
Lima jam dari kota Madinah, namun terasa sejarak seabad dari dunia yang hiruk.
Seorang rekan mengingatkan, buku tentang Emha akan segera terbit.
Ia bertanya apakah saya sudah menulis esai seperti yang dijanjikan dua bulan lalu.
Saya jawab, “Ya, saya menulisnya sekarang juga.”
Itu karena suasana batin saya tersentuh.
Di hadapan bebatuan abadi ini,
saya teringat pada dua puisi Emha yang saya baca sejak lama:
“Surat kepada Kanjeng Nabi” dan “Tuhan Pun Berpuasa”.
Kanjeng Nabi,
Kami ini umatmu yang compang-camping akhlaknya.
Kami salat, tapi korupsi.
Kami puasa, tapi menindas fakir miskin.
Kami naik haji, tapi mencuri uang negara untuk ongkosnya.
Kami hafal ayat-ayat suci, tapi kami benci pada mereka yang berbeda.
(Surat kepada Kanjeng Nabi, ditulis tahun 1992)
Tuhan pun berpuasa.
Ia menahan diri dari murka-Nya.
Ia membiarkan hamba-hamba-Nya bergulat sendiri,
sampai mereka belajar,
bahwa lapar bukan hanya soal perut.
Tuhan pun berpuasa,
dari campur tangan yang terburu-buru.
Ia ingin melihat,
apakah manusia tetap menyembah-Nya
tanpa iming-iming surga dan takut neraka.
Tuhan pun menahan sabda-Nya,
agar manusia mendengar suara hatinya.
Ia berhenti menurunkan mukjizat,
agar manusia belajar melihat keajaiban
dalam roti yang dibagi dua,
dalam air mata yang ditahan agar tak menyakiti.
Tuhan pun berpuasa,
agar manusia berhenti berpura-pura.
Bahwa puasa bukan hanya menahan haus dan lapar,
tetapi menahan diri dari menjadi tuhan kecil
yang menghakimi orang lain
dari balik mimbar suci.
(Tuhan pun Berpuasa, tahun 1997)
-000-
Mengingat Emha Ainun Nadjib, saya terkenang Mata Air Spiritualitas Nusantara. Itu hanya kiasan untuk sumber air bening dari kesadaran terdalam manusia Nusantara.
Ia bukan hanya agama, tetapi hikmah, cinta, dan welas asih yang mengalir ke sawah-sawah hati.
Penjaga mata air ini adalah orang-orang yang tak membiarkan air itu tercemar.
Mereka melindunginya dari dogma yang kaku, dari kekuasaan yang memanipulasi iman,
dari kebencian yang menjelma dalam jubah suci.
Emha Ainun Nadjib layak menyandang gelar sebagai salah satu penjaga mata air spiritual Nusantara. Mengapa?
Pertama: Ia Menyiram Jiwa Rakyat dengan Bahasa Rakyat
Ia turun ke jalan, ke lapangan, ke desa-desa.
Ia berbicara dengan bahasa yang bisa dipeluk oleh petani, tukang becak, hingga mahasiswa.