News  

Refleksi BUNG HATTA Membangun Negara, Diulas Ma’REFAT INSTITUTE

NusantaraInsight, MakassarMa’REFAT INSTITUTE Sulawesi Selatan bersama Forum Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (FA-SPBH) dan Book Club Alumni SPBH-1, melanjutkan Program “Membaca Kembali Bung Hatta” seri yang ke-5 dengan topik “Jiwa Islam dalam Membangun Negara.” Program ini dilaksanakan di Kantor LINGKAR-Ma’REFAT Makassar pada akhir pekan lalu, Minggu 20 April 2025.

Pertemuan siang hingga sore itu, menghadirkan pemantik Mohammad Muttaqin Azikin selaku Alumni Sekolah Pemikiran Bung Hatta (SPBH) Angkatan 1-LP3ES Jakarta.

Muttaqin memaparkan dan mengurai sebuah pidato yang disampaikan di Bogor pada Juni 1966, Bung Hatta mengingatkan kembali pentingnya fondasi spiritual dalam membangun negara. Pidato itu bukan sekadar refleksi seorang negarawan, tetapi juga manifestasi dari perjalanan panjang seorang muslim yang meyakini bahwa agama memiliki peran fundamental dalam pembentukan karakter bangsa dan membangun negara.

Pemilihan perspektif keagamaan oleh Bung Hatta bukanlah tanpa alasan. Dari seluruh aspek kepribadiannya, dimensi spiritual merupakan elemen paling menonjol. Sistem nilai ideologis yang ia anut bersumber dari ajaran Islam yang membentuk keteguhan sikap dalam pikiran dan tindakan. Bung Hatta tidak pernah memisahkan nilai-nilai Islam dari perjuangan kemerdekaan maupun proses bernegara. Bagi beliau, Islam bukan sekadar keyakinan pribadi, tetapi sistem nilai yang menjunjung keadilan, musyawarah, dan tanggung jawab sosial. Keyakinan itu tumbuh sejak kecil dalam lingkungan keluarga religius dan diperkuat oleh pengaruh kedua orangtua serta kakeknya yang seorang guru spiritual.

BACA JUGA:  Kanwil Kemenkum Gorontalo Tingkatkan Kualitas Pengelolaan Keuangan Melalui Audit Kinerja

Meski menempuh pendidikan tinggi selama kurang lebih 11 tahun di Benua Eropa, Bung Hatta tidak goyah dalam memegang teguh nilai-nilai Islam. Lingkungan keluarga yang religius, memperkuat pondasi keimanan dan intelektualitasnya. Bung Hatta kembali ke tanah air dengan pandangan yang semakin tajam: bahwa pembangunan bangsa memerlukan kesadaran spiritual yang kuat, bukan hanya keterampilan teknokratis atau retorika politik.

Bung Hatta dikenal sebagai pemimpin yang senantiasa berpihak pada kepentingan rakyat. Dalam seluruh bidang yang digelutinya, ia tidak pernah melepaskan prinsip-prinsip keislaman. Bung Hatta selalu memosisikan rakyat sebagai poros pemikirannya. Pandangan ini sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang keadilan sosial dan tanggung jawab pemimpin. Dua ayat Al-Quran yang menjadi pegangannya, QS. Ali Imran:110 dan QS. Al-Baqarah:208, menunjukkan bahwa nilai Islam yang ia perjuangkan bukan setengah-setengah. Ia mengajak masyarakat masuk ke dalam Islam secara kaffah, menyeluruh, dan aktif dalam membangun peradaban. Selain itu, ia mengingatkan pentingnya keseimbangan dunia-akhirat QS. Al-Qashas:77 dan perubahan nasib bangsa yang harus dimulai dari diri sendiri QS. Ar-Ra’d:11.