Riset Siluman Ular Jadi Disertasi Terbaik di Jerman

Siluman ular
Ilustrasi siluman ular

NusantaraInsight, Jakarta — Riset tentang siluman ular menjadi disertasi terbaik dari lembaga antropologi tertua di Jerman, Frobenius Institute.

Riset ini diangkat oleh antropologi Universitas Indonesia (UI) Geger Riyanto dan meraih Frobenius Research Award.

Riset ini mengusung soal warisan budaya tidak dimuseumkan dan mitos manusia setengah ular yang jadi asal-usul masyarakat Buton di Seram Utara, Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah.

Dilansir DW, disertasi berjudul Being Strangers in Eastern Indonesia: Misunderstanding and Suspicion of Mythical Incorporation among the Butonese of North Seram dirampungkan Geger saat studi di Institut Etnologi Universitas Heidelberg, Jerman. Dengan disertasi ini, ia menjadi orang di luar Eropa yang meraih penghargaan tersebut.

Siluman ular
Ilustrasi siluman ular

Riset Mitos Siluman Ular Masyarakat Buton

Geger menjelaskan, legenda asal-usul masyarakat Buton ini berawal dari tokoh La Ode Wuna. Siluman ular ini memiliki setengah badan ke atas seperti manusia dan setengah badan ke bawah seperti ular.

Ayah La Ode Wuna adalah Raja Muna, yang menduduki wilayah dekat Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Keluarga La Ode Wuna menyembunyikannya karena sosoknya dianggap aib.

BACA JUGA:  UMI Buka Prodi Magister Baru, ini Dia

La Ode Wuna dewasa kelak dianggap melakukan tindakan yang kurang baik menurut standar raja. Dalan salah satu versi mitos ini, ia lalu pergi dari kediamannya, tetapi masih bisa melihat asap dari Pulau Muna yang membuatnya ingat masa lalu.

Baru ketika sampai di Gunung Manusela, Pulau Seram, ia tidak bisa lagi melihat asap dari kampung halamannya. Ia kemudian membangun kerajaan di Pulau Seram dan membangun kerajaan di sana.

La Ode Wuna, yang berasal dari Sulawesi Tenggara, dianggap sebagai orang Buton pertama yang migrasi ke Pulau Seram.

Siluman Ular dan Hak Tanah di Pulau Seram

Geger mengatakan, legenda ini kemudian diketahui orang-orang Buton dari abad ke-19, masa ketika mereka masih bermigrasi ke Pulau Seram. Cerita La Ode Wuna bagi masyarakat Buton jadi ilustrasi bahwa mereka juga sudah sejak dulu di Pulau Seram.

Artinya, mereka juga berhak atas tanah di sana. Namun, selama ini mereka dipandang sebagai warga pendatang.

“Maka mendengar cerita ini, mereka berpikir jangan-jangan ini leluhur saya. Mereka yang sudah empat generasi di Seram, menganggap hal ini sebagai fakta menarik, karena selama ini selalu dianggap sebagai pendatang, yang dianggap tak punya hak atas tanah, bisa dibilang sebagai tamu atau menumpang di pulau atau ‘rumah’ orang,” jelasnya.