Soal percampuran kebudayaan, sebut Mardi, itu adalah suatu keniscayaan. Kita tidak dapat menafikan, di samping kita membangun dan memperkuat pendidikan, kurikulum ditata kembali agar menjadi baik, ketahahan budaya dan teknologi. Melalui teknologi ada beban kebudayaan yang diperjuangkan.
“Gelombang K-Pop di Asia, itu luar biasa promosinya. Kita belum memiliki hal seperti ini. Kita harus pertahankan dalam membela budaya sebenarnya,” ujar Mardi, kemudian menambahan, juga memandang perlu adanya ruang baca di tempat-tempat publik, misalnya di mal. Di perpustakaan misalnya, juga terkadang ada pemertahanan budaya. Hal-hal seperti ini yang perlu kita sepakati dalam satu visi dan misi menggodok cara–cara pemertahanan kebudayaan itu.
“Selama ini yang berjuang mempersoalkan kebudayaan adalah seniman dan budayawan sendiri yang kebanyakan miskin secara ekonomis. Saya tahu persis bagaimana susahnya memperjuangkan dana di pemerintah daerah. Negara miskin dan berkembang kurang menghargai kebudayaan,” ujar Mardi yang belasan tahun menjadi Sekretaris Dewan Kesenian Makassar.
Dr.Syafruddin Mahtamar, S.H.,M.H. menyebutkan membaca budaya adalah proses transisi tradisionalisme dalam wadah modernitas. Kita tidak menyoal modernisme, tetapi melihat implikasi dari modernitas. Modernisme melihat pada masalah materialisme.
“Budaya itu sudah berbaur dengan modernisme, sehingga membuat kita tidak tahu apa yang disebut dengan tradisi,” ujar Syafruddin Muhtamar.
Kemudian mengenai agama dan tradisi, kita tidak perlu pertentangkan. Tradisi itu akar katanya “tradicium”, ikatan ke surga. Kalau kita melihat di dalam La Galigo, itu ada nilai-nilai spiritualitas, apakah itu dalam agama Buddha atau yang lainnya atau apakah ajaran keilahian masa lampau dalam bentuk agama formal. Jadi, budaya itu adalah kelanjutan nilai-nilai tradisionalisme, sementara materialisme untuk membangun masyarakat industri.
“Bahkan dalam membangun budaya kita membangun masyarakat modern. Orang modern berpikir manajemen, sistematik, dan seterusnya,” ujarnya.
Yeni Rahman, anggota Komisi E DPRD Sulsel merespon bahwa tulisan-tulisan yang dibuat oleh para penulis dapat diterbitkan. Dia mengatakan, untuk tahun ini tidak dapat berbuat banyak karena penetapan anggaran tahun 2025 sudah ditetapkan sebelum dia bergabung di lembaga legislatif itu dan tidak dapat lagi diutak-atik.
“Namun untuk tahun depan, nanti Maret 2025 baru akan dibahas,” ujarnya.
Yeni Rahman mengatakan, jika pemerintah provinsi, dalam hal ini Gubernur, cinta literasi, seharusnya dapat menerbitkan karya-karya para penulis tersebut. Mestinya, para pemimpin harus memberi contoh membeli buku yang ditulis para penulis di daerah ini.