NusantaraInsight, Makassar — Metode Sainte Lague, adalah metode nilai rata-rata tertinggi yang digunakan untuk menentukan jumlah kursi yang telah dimenangkan dalam suatu pemilihan umum.
Metode ini menggunakan pembagian angka ganjil, mulai dari pembagian 1, 3, 5, 7 dan seterusnya.
Pada pemilihan di Indonesia, sistem perhitungan Sainte Lague pertama kali diterapkan pada Pemilu 2019 dengan tetap menerapkan sistem proporsional terbuka.
Baca juga: Perlu Disimak, Begini Cara Menghitung Jumlah Kursi DPR yang Didapat oleh Parpol
Di Eropa, istilah ini dinamai dari matematikawan Prancis André Sainte- Laguë, sementara di Amerika Serikat istilah ini berasal dari negarawan dan senator Daniel Webster.
Metode ini mirip dengan metode D’Hondt, tetapi menggunakan pembagi yang berbeda. Pada umumnya metode pembagi terbesar membawa hasil yang hampir serupa. Metode D’Hondt juga memberi hasil yang serupa, tetapi metode tersebut lebih menguntungkan partai besar bila dibandingkan dengan metode Webster/Sainte-Laguë.
Dalam sistem ini sering kali terdapat ambang batas suara atau persentase suara minimal yang diperlukan untuk memperoleh kursi di parlemen.
Webster pertama kali mengusulkan metode ini pada tahun 1832, dan pada tahun 1842 metode ini mulai digunakan dalam pembagian kursi kongres di Amerika Serikat. Metode ini kemudian digantikan oleh metode Hamilton, tetapi pada tahun 1911 metode Webster kembali diberlakukan.
Sementara itu, André Sainte-Laguë memperkenalkan metode ini di Prancis pada tahun 1910. Tampaknya publik di Prancis dan Eropa belum pernah mendengar informasi mengenai metode Webster hingga masa berakhirnya Perang Dunia II.
Metode Webster/Sainte Laguë digunakan di Bosnia dan Herzegovina, Irak, Kosovo, Latvia, Selandia Baru, Norwegia dan Swedia.
Di Jerman, metode ini digunakan di tingkatan federal untuk alokasi kursi Bundestag dan juga dalam pemilu negara bagian di Baden-Württemberg, Bremen, Hamburg, Nordrhein-Westfalen, Rheinland-Pfalz dan Schleswig-Holstein.
Lanjut…. simulasi..?