“Kebahagiaan bukan terletak pada apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita miliki, melainkan pada bagaimana hati kita mampu bersyukur, memberi makna, dan berbagi dalam keterbatasan.” ~ Rahman Rumaday
NusantaraInsight, Makassar — Kebahagiaan sejati bukan terletak pada emas yang melingkar di jari, bukan pula pada cita rasa makanan yang menggoyang lidah, atau baju indah yang membungkus tubuh. Ia terletak jauh lebih dalam, tersembunyi di ruang hening yang bernama hati. Di sana, syukur tumbuh seperti pohon tua yang akarnya mencengkeram kuat tanah kehidupan. Di sana pula makna diciptakan, dan kasih dibagikan bahkan di tengah keterbatasan yang tidak pernah menampakkan kemurahan.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi” ~ Al-Qashash : 77
Bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki, tapi soal memberi. Bukan tentang menjangkau langit, tapi merunduk bersama bumi. Maka tidak heran, di tengah sempitnya lorong dan sederhana rumah-rumah kita, mekar kebahagiaan yang tidak pernah ditawarkan oleh pusat perbelanjaan manapun.
Bulan Syawal datang bukan hanya membawa gema takbir dan ketupat sebagai ciri khas, tapi juga sebuah tradisi yang sudah tertancap yakni program WASILAH akronim dari “Waktunya Silaturahmi” dilakukan setahun sekali pada bulan Syawal, sebuah tradisi yang telah mengakar beberapa tahun berjalan di tanam oleh Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) dan di rawat bersama baik ibu-ibu di lorong Daeng Jakking maupun ibu-ibu Rempong di Jl Daeng Muda.
“Kita terlahir di keluarga berbeda, tapi ikatan persaudaraan bisa menjadikan kita layaknya keluarga” ~ Kata bijak
Para ibu “Rempong” Komunitas Anak Pelangi (K-Apel) menapak satu demi satu rumah sesama sahabat komunitas. Sabtu, 12 April 2025 rumah kelima yakni rumah Ibu Jumrawati, yang juga istri dari anggota DPRD Kota Makassar bapak Adi Akbar
Ada yang berbeda di rumah ibu Jumrawati. Tidak seperti biasanya di rumah sebelumnya kami kunjungi. Tidak ada piring porselen atau meja tamu elegan. Yang ada hanya sebilah daun pisang yang membentang dua meter panjangnya, digelar di atas lantai, seperti sajadah hijau tempat doa-doa kuliner dibacakan. menjadi altar sederhana tempat bersatunya rasa dan kisah. Di atasnya makanan disusun rapi tanpa piring, bukan untuk dilahap dengan tamak, tapi untuk dinikmati dengan rasa syukur yang sunyi dan tulus. Para ibu Rempong dan saya duduk bersila, lesehan. Lutut bertemu lutut. dada merendah sejajar lantai, tangan saling mendekap rasa. Inilah kebersamaan tanpa jenjang, persaudaraan tanpa dinding, cinta tanpa syarat.