Dalam Sentuhan Lutut, Ibu-Ibu Rempong K-Apel Lakukan WASILAH

Tradisi makan bersama diatas daun pisang ini, dalam budaya Maluku, disebut dengan makan patita. Ia lebih dari sekadar ritual makan bersama. Ia adalah bahasa tubuh solidaritas, tafsir budaya tentang kesetaraan, dan doa diam-diam agar kita tidak lupa bahwa hidup bukan tentang siapa yang punya lebih, tapi siapa yang lebih peduli.

Kalau di Sulawesi Selatan, belum saya temukan nama yang mengikatkan makna seperti ini dalam satu istilah. Namun mungkin, kita tidak butuh nama untuk sesuatu yang begitu suci dan alami. Sebab, kadang peradaban lebih dulu ditulis di dada manusia daripada di lembar buku sejarah.

Di ruang itu, tidak tampak beda antara istri pejabat dan ibu rumah tangga biasa. Tidak ada pangkat, tidak ada status. Yang ada hanya tawa yang bersahut-sahutan, suapan yang diselingi cerita, dan mata yang saling memandang dengan teduh. Dalam kebersamaan yang nyaris sakral itu, kebahagiaan menjadi milik bersama lahir dari syukur, hidup dari makna, dan tumbuh dalam keberanian berbagi di tengah keterbatasan.

BACA JUGA:  Ibu ibu Rempong Rayakan Ulang Tahun Founder K-Apel

“Antara seorang mukmin dengan mukmin yang lainnya adalah bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya” ~ Hadits

Dalam kebersamaan itu, tidak tampak lagi siapa yang paling fasih berkata-kata, siapa yang paling mapan secara ekonomi, atau siapa yang mengenakan pakaian termahal. Yang ada hanyalah “KITA” sebuah kata yang menampik kata “aku”dan “kamu” Lutut yang bersentuhan bukan sekadar fisik yang berdekatan, tapi jiwa yang bersalaman, ego yang disimpan, dan kasih yang dibentangkan di atas daun hijau yang bernama daun pisang.

Pada momen tersebut makan bukan lagi sekadar mengisi perut. Ia menjadi sarana bertumbuhnya rasa yakni rasa syukur, rasa cukup, rasa satu. Di sinilah filsafat hidup berpadu dengan sejarah yang terwariskan lewat tradisi. Di sinilah puisi kehidupan lahir tanpa tinta, hanya dari tangan yang saling menyuap dan hati yang saling menguatkan. kebahagiaan bukanlah tentang isi lemari atau piring kita, tapi tentang isi hati, mampukah ia bersyukur, bersimpati, dan berbagi?

Maka, biarlah daun pisang menjadi saksi. Bahwa sekali waktu, kita pernah menanggalkan ego, duduk sejajar, dan merayakan hidup bukan karena apa yang kita miliki, tapi karena siapa yang duduk di samping kita. Tidak hanya makanan yang dibagi, tapi juga cinta. Dalam sentuhan lutut, runtuhlah tembok perbedaan. Dalam suapan yang satu, tumbuhlah harapan yang sama, bahwa dunia ini bisa indah bila kita sudi duduk bersama, makan bersama, dan merasa bersama, bukan sebagai aku, kau, dan dia, melainkan sebagai KITA.