Kisah Pilu dari Gaza: Anakku Berharap Roket Datang Membawanya ke Bulan, Justru Roket Datang untuk Mencabiknya

Kisah Pilu dari Gaza
Mahmoud bin Hassan mencium jenazah salah satu anaknya

NusantaraInsight, Gaza — Sungguh pilu kisah Areej al-Qadi seorang ayah dari Kota Khan Younis, Gaza Selatan. Ia tak kuasa menahan tangis. Air matanya berlinang saat ia mencium jenazah ketiga anaknya yang masih kecil—Abdul Aziz (7 tahun), Hamza (5 tahun), dan Laila (3 tahun).

Ketiga anaknya telah syahid, tewas dalam serangan udara yang dilancarkan Israel di kota Khan Younis, Gaza selatan.

“Abdul Aziz bercita-cita menjadi astronot,” ujar Areej dengan suara bergetar.

“Dia pernah berkata kepada saya, ‘Saya harap roket datang dan membawa saya ke Bulan.’ Namun dia tidak menyadari bahwa roket itu justru datang untuk mencabik-cabiknya,” kisahnya pilu.

Di tengah suasana duka, seorang pelayat bernama Ra’fat al-Shaermengutuk keras ketidakpedulian dunia. “Amerika berbicara tentang demokrasi dan keadilan, tetapi mendukung genosida ini.”

Dan para pemimpin Arab? Di mana mereka? Berapa lama mereka akan membiarkan penderitaan ini terus berlangsung?” ujar Ra’fat al-Shaer, suaranya penuh kemarahan.

Sudah lebih dari setahun, sejak Operasi Badai Al-Aqsa 7 Oktober 2023, penduduk Gaza hidup di bawah bayang-bayang maut. Pemakaman menjadi rutinitas harian.

BACA JUGA:  Spanyol Tunjukkan Dominasi di Grup B, Tundukkan Albania 1-0

Orang-orang tanpa henti menghadiri prosesi penguburan, dengan hati yang diliputi kesedihan dan kemarahan.

Mereka merasa dunia telah meninggalkan mereka. Seruan mereka untuk bantuan sebagian besar tak berbalas.

Israel telah merenggut lebih dari 44.000 nyawa, melukai lebih dari 104.000 orang, dan menghancurkan Gaza hingga menjadi puing-puing beton dan logam bengkok.

Wilayah yang menjadi rumah bagi 2,4 juta jiwa ini kini menghadapi ancaman kelaparan besar-besaran.

Bahkan angka-angka itu, menurut banyak analis, adalah perkiraan konservatif. Surat dari hampir 100 dokter Amerika yang bertugas di Gaza memperkirakan korban syahid mencapai 118.000 jiwa pada Oktober 2024.

Jurnal medis The Lancet memperkirakan jumlah itu bisa mencapai lebih dari 180.000.

Mahmoud bin Hassan al-Thalatha, seorang ayah yang kehilangan tiga anaknya dalam serangan udara di jalan yang ramai, hanya mampu mengandalkan doa.

“Anak-anak saya telah syahid. Pedagang di kios telah syahid. Orang-orang yang berjalan di jalan menjadi syuhada. Semoga Allah merahmati mereka semua,” ucapnya penuh pilu.

Duka Gaza bukan hanya cerita tentang kehilangan, melainkan juga jeritan kemanusiaan.

BACA JUGA:  Satu Tendangan Islam, Volkanovski Selesai

Di tengah kekejaman yang terus berlangsung, Gaza menjadi simbol keberanian, tetapi juga bukti nyata kegagalan dunia untuk menegakkan keadilan.

Berapa lama lagi dunia akan diam? Hingga kapan penderitaan ini harus berlangsung? Di atas tanah yang hancur dan darah yang tumpah, Gaza terus bersaksi tentang derita manusia yang seakan tak bertepi.