Wanita Gaza Alami Depresi dan Trauma Pasca Melahirkan

Wanita Gaza alami depresi
Bayi yang lahir di Gaza

Adapun Yusra, dia menangis tersedu-sedu, memohon kepada petugas kesehatannya untuk mengumandangkan azan bagi putranya yang baru lahir, karena suami dan ayahnya telah terbunuh.

“Bolehkah dokter anak atau orang lain mengumandangkan azan di telinga anak saya,” tanya Yusra.

Secara tradisional, ayah atau kakek seorang anak membacakan doa untuk bayi yang baru lahir.

Yang juga traumatis adalah rasa takut tidak berdaya dalam merawat bayi, rasa takut yang diperburuk dengan tidak adanya kebutuhan dasar seperti susu dan pakaian.

Seorang wanita terus meminta maaf karena satu-satunya pakaian yang dia miliki untuk bayi laki-lakinya yang baru lahir adalah pakaian anak perempuan berwarna merah muda, yang dibuat ulang dari kakak perempuan anak laki-laki tersebut.

Banyak yang datang ke pusat kesehatan untuk mencari susu atau popok, tetapi ketersediaannya di pasaran terbatas dan harganya naik sepuluh kali lipat.

Dalam kondisi ekstrem seperti ini, besar kemungkinan para wanita tersebut akan mengalami depresi.

Setiap ibu mendapati dirinya tidak mampu memenuhi kebutuhan bayinya yang baru lahir saat ini atau di masa depan, sehingga menempatkannya dalam siklus keputusasaan, kecemasan, dan ketidakberdayaan.

BACA JUGA:  Langit Gaza Memerah Dihujani Rudal Israel

Selama perang, beberapa faktor sosial ekonomi yang tidak menguntungkan secara signifikan meningkatkan risiko patogenesis PPD. Hal ini termasuk kemiskinan dan kurangnya dukungan sosial, paparan terhadap peristiwa buruk dalam hidup seperti kecemasan yang timbul akibat tekanan fisik dan mental saat melahirkan di tengah keadaan sulit, dan ketidakmampuan untuk membentuk ikatan ibu-bayi yang efektif.

PPD tidak hanya berdampak pada kesehatan ibu, tetapi juga berdampak signifikan pada keturunannya. PPD pada ibu sering kali dikaitkan dengan perubahan fisik pada anaknya, seperti penurunan berat badan, penurunan kesehatan fisik dan sosial secara keseluruhan, serta masalah kognitif dan emosional.

Memang benar, trauma sudah tersebar luas di Gaza sebelum serangan terbaru Israel. Menurut sebuah penelitian pada tahun 2020, lebih dari separuh anak-anak di Gaza menderita gangguan stres pascatrauma, dan krisis kesehatan mental ini semakin parah.

Dan prevalensi PTSD dan PPD tidak akan hilang seiring dengan berakhirnya konflik.

Pentingnya penghentian segera kekerasan dan diadakannya program pengobatan dan perawatan trauma yang besar tidak bisa dilebih-lebihkan. (*)