Bung Hatta menyadari bahwa demokrasi tidak bisa sekadar diimpor dari Barat. Ia harus tumbuh dari akar budaya bangsa, terutama budaya gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat desa. Dalam esainya yang terkenal, Demokrasi Kita, Bung Hatta menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus memiliki watak tersendiri, yang menghormati musyawarah, mufakat, dan kepedulian sosial.
Bung Hatta menyerukan agar pemuda Islam aktif mengatasi masalah ekonomi, terutama kemiskinan. Menurutnya, kemiskinan adalah pintu masuk bagi paham komunisme. Untuk mengimbangi paham komunisme, Bung Hatta menggaungkan ajaran sosialisme Islam. Ia meyakini bahwa dalam kekayaan terdapat hak-hak orang miskin yang harus ditunaikan.
Pandangan ini berangkat dari keyakinannya bahwa dalam kekayaan seseorang terdapat hak orang miskin dan orang tak mampu. Sebuah prinsip yang diangkat langsung dari ajaran Al-Quran dan menjadi pilar dalam ekonomi Islam. Dengan demikian, upaya membangun ekonomi bukan semata mengejar pertumbuhan, melainkan juga menjawab tanggung jawab sosial umat. Ucap Muttaqin menutup tafsirannya terkait refleksi Bung Hatta pada nilai-nilai ajaran Islam.
Dalam diskusi ini juga terdapat beberapa tanggapan dari peserta diskusi, Apakah konsep kenegaraan Bung Hatta dapat direalisasikan di Indonesia? Apakah pemikiran Bung Hatta bertujuan memperbaiki individu atau sistem di Indonesia? Dan apakah beliau seorang yang nasionalis atau agamis?
Konsep kenegaraan Bung Hatta berpijak pada fondasi yang telah diletakkan sejak awal berdirinya Republik Indonesia, yakni Pancasila. Meski secara prinsip menjadi kesepakatan bersama, dalam praktiknya, setiap tokoh bangsa mengembangkan pendekatan yang berbeda dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai dasar tersebut. Perbedaan ini mencerminkan kekayaan pemikiran dalam proses berbangsa dan bernegara, sekaligus menegaskan bahwa Pancasila bersifat terbuka untuk ditafsirkan secara kontekstual.
Bung Hatta memandang bahwa pembangunan bangsa tidak hanya terletak pada reformasi sistem, tetapi juga pada pembentukan karakter individu. Pandangan ini tergambar dalam pidatonya yang bertajuk “Jiwa Islam dalam Membangun Negara dan Masyarakat.”
Frasa “negara” dalam tema tersebut merujuk pada sistem dan struktur kenegaraan, sedangkan “masyarakat” menunjuk pada elemen individu sebagai aktor sosial. Dengan demikian, Bung Hatta menempatkan pembangunan sistem dan pembinaan manusia sebagai dua pilar utama dalam membangun peradaban.
Pendekatan ini selaras dengan kepribadiannya sebagai seorang nasionalis religius/agamis, di mana nilai-nilai spiritual menjadi dasar dalam merancang arah kebijakan maupun etika publik. Tegas Muttaqin mengakhiri respons baliknya. (EW)