Anisah Usman, Puisi, dan “Pappasangta” RRI Makassar

Anisah Usman
Anisah Usman

Buku puisi yang tidak terlalu ketat melalui proses seleksi seorang kurator. Syaratnya sederhana, kumpulan puisi dalam buku ini haruslah ditulis oleh orang-orang yang pernah membaca puisi di acara “Pappasangta”, atau puisi itu pernah dibaca di acara yang disiarkan melalui gelombang frekuensi 92,9 FM tersebut. Syarat lainnya, puisi dalam buku ini dijamin belum pernah dibukukan dan merupakan karya asli, bukan plagiat.

Menarik jika sedikit saya ungkapkan mengapa saya dan teman-teman di Makkareso, sejak 10 Maret 2017, melibatkan diri dalam acara “Pappasangta” RRI Pro4. Ceritanya bermula ketika kami di Makkareso mengadakan kegiatan lomba baca puisi, esai dan sketsa dalam rangka peringatan “1 Tahun Kepergian Rahman Arge”. Sebagai penulis, pelaku seni, dan pekerja buku, kami di Makkareso menilai pantas memberikan apresiasi kepada Rahman Arge yang selama hidupnya sudah berkontribusi di bidang seni budaya bagi daerah Sulawesi Selatan. Makkareso itu, Makassar Creative Society, beralamat di Jalan Bau Mangga III, yang merupakan rumah kediaman Dr. Syahriar Tato, seorang aktor, seniman, akademisi, dan mantan birokrat.

Salah seorang peserta lomba itu adalah Kembara Daeng Sirua, yang biasa menjadi pembawa acara tamu di “Pappasangta”. Dg Sirua lalu melontarkan ajakannya agar teman-teman di Makkareso mau mengisi acara di malam Jumat tersebut. Hampir berbarengan dengan itu, secara kebetulan, saya juga diminta memonitor acara ini oleh Anisah Usman. Singkat cerita, setelah menyimak acara ini setiap pekan, saya menemukan format yang kelak ditawarkan sebagai warna baru program acara “Pappasangta”.

Saya lalu menemui Ibu Arwinny Puspita, Kepala Bidang Program Siaran, dan Ibu Darmawati Tahir, Kepala Seksi Programa 4, untuk menyampaikan tawaran mengisi acara “Pappasangta” secara rutin. Kepada keduanya, secara terpisah, saya sampaikan niat untuk ikut memperkuat acara ini, dan memberikan gambaran apa yang akan dilakukan. Gayung bersambut, kami (Makkareso) dipersilakan mengisi acara ini secara rutin. Pengertian ‘rutin’ di sini, maksudnya cukup sekali sebulan, atau dua kali sebulan, sesuai kelonggaran waktu.

Maklum saja, waktu siaran acara di malam hari, yang sudah bisa dibayangkan bakal menjadi tantangannya. Saya juga menyampaikan bahwa tidak akan ngotot atau memaksakan diri mengisi acara ini setiap minggunya. Saya khawatir, teman-teman di Makkareso tidak selalu punya waktu luang, juga akan kesulitan mencari orang yang mau datang membaca puisi di malam hari. Malam hari, apalagi malam Jumat, merupakan tantangannya. Itulah mengapa, kami belakangan secara berseloroh menyebut saat-saat membaca puisi di “Pappasangta” sebagai malam Jumat keramat.

BACA JUGA:  Pemilu 1999, Pembicara tentang Media untuk Caleg Partai Baru

Perlu disampaikan, sebelum kami ikut nimbrung, acara ini hanya berupa pembacaan puisi oleh dua penyiar yang bertugas malam itu, atau oleh fans dan pendengar yang membacakan puisinya secara live via telepon. Kadang, penyiar hanya membacakan pesan-pesan, dalam bentuk kalimat puitis, kata-kata/pesan-pesan bijak berbahasa Makassar (pappasang), atau sekadar curhatan yang dikirim melalui fanpage RRI Pro4.

Acara ini semula bernama “Pancaran Sastra”. Karena ada kebijakan siaran-siaran RRI Pro4, yang menyasar segmen budaya, mesti berbahasa daerah maka namanya diubah menjadi “Pappasangta”. Sebagaimana namanya, acara ini dibuat dengan maksud untuk menggali kembali sastra lisan berupa kelong, pappasang, pa’doangan, syair aru, pakkio bunting, serta nilai dan kearifan budaya Sulsel lainnya. Perubahan nama tidak mengubah maksud dari pembuatan acara ini sebelumnya. Malah sangat diharapkan agar kreativitas dari penulis dan penyair-penyair muda mau menyisipkan pesan-pesan bijak leluhur itu ke dalam karya sastranya.

Saya merasa terpanggil untuk ikut mengisi acara ini karena tiga alasan. Pertama, sebagai mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Sulawesi Selatan, ada semacam tanggung jawab moral untuk memberikan contoh bagaimana membuat program siaran yang edukatif dan menginspirasi. Kedua, sebagai Ketua Forum Komunikasi Pemerhati (FKP) RRI Makassar, saya mencoba berkontribusi memperkenalkan program-program RRI kepada masyarakat, yang mungkin bisa menjadi sarana bagi mereka mengomunikasikan program kegiatan dan gagasan-gagasannya. Dan ketiga, sebagai penyuka puisi, saya berusaha menjadi mediator bagi para penulis dan penyair mendapatkan ruang untuk mengekspresikan karya-karya mereka.

Dalam prosesnya kemudian, acara ini dibuat sedemikian rupa agar menarik sebagai sebuah pertunjukan udara (air show) yang menghibur. Maka kami bereksperimen meramu acara dengan mengutak-atik para pembaca dan tema puisi agar pas di telinga, juga agar lagu yang diputar menyertai puisi itu nyambung dengan tema puisinya. Kami, misalnya, mengatur ‘skenario’ puisi apa yang pertama akan dibaca, siapa pembaca puisi pertama, juga pembaca berikutnya sebelum lagu diputar. Konsep ini tidaklah baku, tapi dinamis agar tak menimbulkan pola yang monoton.

BACA JUGA:  Pengalaman Pertama Ikut Bimtek Menulis Biografi

Kolaborasi spontan antarpembaca puisi juga coba dilakukan. Misalnya, puisi dialog antara ibu dengan anaknya. Juga ketika duet AR Dg Rate, yang dikenal sebagai pasinrilik, dengan Maysir Yulanwar, dalam salah satu segmen pembacaan puisi. Supaya selalu ada yang baru, kami berupaya menyuguhkan beragam genre sastra. Para pendongeng dari komunitas DONGKEL (Dongeng Keliling), yang biasa mendongeng di hadapan anak-anak, kami ajak mendongeng di studio dalam rangka Hari Anak Nasional (HAN), 23 Juli 2017. Kami mengundang Chaeruddin Hakim, membawakan sastra tutur Makassar, berupa Kelong Appatinro Anak (syair menidurkan anak berirama royong moderen).

Kami juga membuat strategi branding agar orang meminati acara ini. Kami membuat tahapan, mula-mula yang membaca puisi hanya teman-teman komunitas Makkareso, lalu orang lain di luar komunitas. Teman-teman di Makkareso hanya men-trigger saja supaya mereka yang menyukai puisi mau datang membaca puisi, supaya mereka yang punya komunitas mau mengajak anggotanya dan jejaring komunitasnya hadir membaca puisi, seperti dilakukan Ruang Abstrak Literasi, Pecandu Aksara, Komunitas Menulis Lego-Lego, Rumah Teduh, Kata Kerja, dan IPASS (Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra) Sulawesi Selatan. Masih ada lagi Forum Lingkar Pena (FLP), UKM Seni Budaya eSA UIN Alauddin, dan Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI). Pada bagian ini, kami mengandalkan perkawanan sesama penulis, juga pertemanan di jagat maya.

Tahapan berikutnya, kami mengundang penyair senior dan orang-orang yang sudah ‘punya nama’ untuk memperkuat eksistensi dan legitimasi acara ini. Sebut di antaranya Nawir Sulthan, Dr. Syahriar Tato, Yudhistira Sukatanya, Bahar Merdu, Sri Rahmi, Idwar Anwar, Muhammad Amir Jaya, Andhika Mappasomba, dan Mariati Atkah. Cara ini terbukti efektif. Kami tak lagi kekurangan pembaca puisi. Sejak periode Maret hingga Agustus 2017, tercatat lebih dari 80 pembaca puisi. Mereka yang pernah hadir, masih bersedia datang lagi, sedangkan yang belum malah bertanya-tanya, kapan mereka diundang datang membaca puisi di acara “Pappasangta”. Rata-rata dalam semalam ada 4-6 pembaca puisi. Bahkan pernah semalam hadir 12 pembaca puisi.

“Pappasangta” boleh dikata menjadi forum silaturahmi para penyair, sekaligus momen pengikat kebersamaan. Pernah dalam suatu malam, guru SMA Negeri 2 Makassar membaca puisi bersama belasan muridnya, ibu dan anak membaca puisi bersama, juga satu keluarga terdiri dari ayah-ibu-anak membaca puisi secara bergantian. Forum membaca puisi ini juga berhasil mempertemukan beberapa sahabat yang belasan tahun tak lagi bersua. Belum lagi pertemuan ‘tak sengaja’ antara pembaca dan penulis buku yang sebelumnya hanya mengenal karya-karya sastra dan puisinya.

BACA JUGA:  Yuk Kenalan dengan Muhammad Amri Arsyid

Proses pembelajaran mengelola “Pappasangta” tampaknya mulai membuahkan hasil. Paling tidak, RRI mendapat pendengar baru, terutama dari kalangan generasi muda. Ini bisa dipastikan, karena sejumlah tamu yang diundang mengaku baru kali itu datang ke RRI, dan siaran mereka didengar oleh keluarganya di rumah. Program “Pappasangta” juga mendapat publikasi yang cukup luas di media sosial, lantaran sebelum, selama, dan setelah acara, biasanya berseliweran postingan status dan foto-foto para pembaca puisi malam itu.

Itulah success story mengelola program acara “Pappasangta” RRI Pro4 Makassar. Meski begitu, usia saya mengelola acara ini dengan sentuhan para penyair yang sarat nilai pesan, tak sampai setahun. Tentu kami tak berpuas diri dengan capaian ini. Memang butuh daya tahan untuk mengembangkan acara ini sebagaimana idealnya. Padahal ada rencana mengembangkan acara ini dalam bentuk siaran off air dari sekolah-sekolah, kampus-kampus dan komunitas-komunitas yang dikemas lebih variatif dan lebih atraktif, atau siaran live streaming tanpa mengurangi kekuatan theater of mind  yang justru merupakan karakteristik siaran radio.

Kami sesungguhnya hanya berikhtiar menerjemahkan makna RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, yang telah berkomitmen menjadi rumah rakyat Indonesia. Apa yang kami lakukan ini bagian dari gerakan literasi, untuk menumbuhkan semangat menulis dan membaca puisi, yang akarnya sesungguhnya dapat dilacak dalam jejak sastra dan kebudayaan Nusantara. Kami berharap, program acara “Pappasangta” akan menjadi bagian dari spirit budaya Bugis dan Makassar yang tak menguap dan tak tergerus oleh zaman, yang jejaknya bisa mendatangkan pembelajaran, bagi dunia sastra, dunia literasi, dan dunia penyiaran. (*)