Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)
NusantaraInsight, Makassar — Laku politik sesungguhnya mencerminkan wajah masyarakat kita. Masyarakat yang permisif pada segala tabu, tentu tabiat politisinya akan sebangun dengan itu. Mirip air yang mengikuti bentuk wadahnya. Politisi yang lahir dalam masyarakat serupa itu, tak lagi kita kenali wajahnya meski balihonya ada di mana-mana dengan akting tampang ramah dan murah senyum. Namun, sejatinya ia berjarak dengan masyarakat, tak membumi. Sebaliknya, pada masyarakat yang berdaya, kritis, dan kukuh memegang nilai-nilai keutamaan hidup, akan melahirkan politisi yang adabnya terpelihara, punya etos kerja terukur, dan agenda politiknya selaras dengan aspirasi publik yang jadi basis konstituennya.
Kalkulasi Elektoral vs Edukasi Kultural
Problemnya, kita sekarang menghadapi banalitas politik yang begitu vulgar. Kolusi dan nepotisme yang jadi salah satu agenda reformasi justru secara terang-terangan dipertontonkan dalam wujud politik dinasti, politik perkoncoan, dan oligarki politik. Oligarki politik yang, oleh Jeffrey A Winters (2011) disebut membesar di era rezim Soeharto, kini mengalami arus balik dengan pusaran yang lebih besar, terdistribusi mengikuti desentralisasi kekuasaan. Padahal, filsuf Yunani, Plato, ribuan tahun lalu sudah mengingatkan bahaya oligarki, sebagai penyebab kemerosotan pemerintahan.
Harus diakui, kita sudah memiliki infrastruktur politik sebagai prasyarat sebuah negara demokrasi. Kita punya parlemen sebagai representasi perwakilan rakyat di tingkat pusat, provinsi, serta kabupaten/kota. Hanya saja, segala prasarana yang kita miliki itu belum berfungsi dengan ideal. Keputusan-keputusan penting di parlemen malah kerap berseberangan dengan suara rakyat. Alih-alih mengadakan pendidikan politik, sebagaimana diamanahkan Undang-Undang Tentang Partai Politik, partai-partai justru lebih sibuk melakukan kalkulasi elektoral yang bersifat temporal, mengikuti siklus pemilu lima tahunan. Tak ada keunggulan komparatif antara satu partai dengan partai lainnya, hanya namanya saja yang berbeda. Mereka lebih berhitung menang-menangan, walau caranya culas dan curang, dengan memanfaatkan semua celah hukum.
Sekalipun bisa dipahami bahwa politik merupakan seni mencapai tujuan: bagaimana merebut, mempertahankan, dan mengelola kekuasaan. Namun, kita lebih banyak mendapati dan disuguhkan oleh berbagai langkah politik yang akrobatik, absurd, unpredictible, dan tanpa komitmen. Malah cenderung terjadi politik yang saling menelikung, dan politik sianre bale, yang dalam bahasa Bugis artinya saling memakan. Homo homini lupus est, manusia adalah serigala bagi sesama manusia.