Jika merujuk pada khazanah budaya masyarakat Sulawesi Selatan, sejatinya kita punya standar dalam menakar kepemimpinan seseorang, yakni macca na malempu (cerdas dan jujur), serta warani na magetteng (berani dan tegas). Falsafah yang sedemikian bagus ini mesti diubah dari konsepsi menjadi aksi nyata yang lebih operasional. Ditransmisikan melalui kurikulum lewat institusi pendidikan, sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Menjadi pedoman, bukan saja bagi politisi, tapi juga kalangan birokrasi penyelenggara negara lainnya. Bila perlu dibuat dalam bentuk desain yang artistik dengan aksara Lontaraq lalu di letakkan di ruang-ruang kerja pimpinan instansi dan kantor-kantor partai politik.
Penulis jadi teringat pada nasihat Karaeng Pattingalloang (1600-1654), yang dikenal sebagai cendekiawan Kerajaan Gowa-Tallo, soal kehidupan bernegara. Mangkubumi bagi tiga raja berbeda, masing-masing Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin ini, mengingatkan adanya 5 (lima) penyebab hancurnya sebuah negara. Pertama, bila raja tidak mau lagi dinasuhati; kedua, bila tidak ada lagi kaum cerdik cendekia di dalam negeri; ketiga, bila terlalu banyak hakim dan pejabat yang suka makan sogok; keempat, bila terlalu banyak masalah dalam negeri; dan kelima, bila raja tidak lagi menyayangi rakyatnya.
Advokasi Lewat Platform Digital
Sekadar prihatin terhadap kondisi dan situasi politik kekinian, kayaknya tidak cukup. Kita tidak bisa lepas tangan menyerahkan pengelolaan negara terhadap segelintir elit yang nyata-nyata mengkhianati rakyat berkali-kali lewat proses politik yang seolah-olah demokratis. Begitu pun partai-partai, dalam proses pemilukada Sulawesi Selatan 2024, mesti dilihat hanya sebagai kendaraan bagi kandidat agar bisa diusung. Bukan penentu segala dan memonopoli aspirasi kita. Ada jalur independen, sebagai alternatif, yang juga bisa digunakan untuk mengajukan pasangan calon.
Sebagai warga negara (citizen), kita bisa punya posisi tawar bila mampu mengkonsolidasikan kekuatan suara sebagai pemilih. Kita misalnya, melalui komunitas dan kelompok-kelompok isu, bisa mengadakan uji publik terhadap kapasitas dan komitmen setiap tokoh yang digadang-gadang bakal maju sebagai calon kepala daerah. Kita bisa mengkaji track record petahana dan orang-orang yang pernah berkuasa sebagai kepala daerah. Melalui interaksi yang terbangun, setiap tokoh bisa menyerap dan mendengar apa yang menjadi tuntutan kebutuhan komunitas dan kelompok-kelompok warga tersebut. Mereka juga bisa melakukan pemetaan masalah terhadap setiap isu yang disampaikan, yang sangat berguna dalam penyusunan perencanaan strategis dan prioritas kebijakan nantinya.