Dalam konsep yang kami buat, komunitas ini memang juga akan mengelola kafe. Modal awalnya diberikan oleh Pak Syahriar, pengelolanya Romo. Ada perpustakaan dan taman baca, kegiatan diskusi (buku, film, media, fesyen, teater, dll), ada learning center untuk anak-anak. Kelas Kursus/workshop (public speaking, mode, menyanyi, film/teater, pertelevisian/radio, menulis kreatif). Ada ruang pertunjukkan (pentas musik, pemutaran film pendek/indi, dll), ruangan pameran, tempat penjualan kerajinan/produk kreatif, penerbitan.
Konsep kafe yang punya fasilitas hotspot/Wifi ini, meubelernya dari barang bekas (bekas peti, kaleng cat dan drum minyak), interior berisi lukisan teman-teman para pelukis, cover buku penulis/penerbit lokal, poster film yang menampilkan artis daerah Sulawesi Selatan, kerajinan tradisional, dan kata-kata bijak pappasang/paseng. Menu yang disediakan merupakan penganan tradisional Bugis/Makassar. Juga ada tanaman hijau untuk mendukung program gerakan Makassar Ta’ Tidak Rantasa (MTR). Dibuat pula rencana launching Makkareso, yakni tanggal 23 Juli 2016.
Itulah konsep awalnya. Tidak semua rencana di Makkareso itu terlaksana. Namun dari situ saya terhubung dengan banyak teman baru: perupa, pemain teater, sastrawan, dan pekerja seni lainnya. Dari sedikit kegiatan Makkareso yang terlaksana, saya menganggap penting untuk berbagi cerita ini. Karena ini juga bagian dari remah-remah sejarah aktivitas sastra dan mungkin juga kesenian di Sulawesi Selatan.
Makkareso itu komunitas dengan hanya beberapa orang. Dr Syahriar Tato, Saya, Romo, Nasrul, Maysir Yulanwar, Idwar Anwar, M Amir Jaya, Abdul Hakim Hazbul, dan Daeng Mangeppe. Menyusul nanti ada Yudhistira Sukatanya dan Anil Hukma yang diajak berkolaborasi untuk beberapa kegiatan.
Cara kami memperkenalkan komunitas ini unik dan terbilang sederhana. Kalau menjelang sore, Romo akan menawarkan kopi susu untuk gelas kedua. Dia juga sudah mempersiapkan gorengan. Kadang Edo (Idwar Anwar) membeli jalangkote untuk dimakan bersama. Mulailah teman-teman membaca puisi, lalu diposting di akun Facebook Makkareso dan akun medsos masing-masing. Kegiatan ini menarik perhatian beberapa orang, termasuk Sri Rahmi, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Dari kegiatan ini, kami bisa membangun jejaring dan membuat kegiatan kerjasama. Pada tanggal 26 September 2016, kami mengadakan bedah buku “La Galigo” karya Idwar Anwar di Graha Pena. Kegiatan ini mendapat dukungan dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Sulawesi Selatan. Kami juga memperingati ‘1 Tahun Kepergian Rahman Arge” dengan mengadakan lomba baca puisi, esai, dan sketsa, pada tanggal 1 Oktober 2016. Juga ada bedah bukunya M Amir Jaya yang mendapat dukungan dari Balai Senator. Dr H Ajiep Padindang, anggota DPD RI, bahkan dua kali datang menghadiri acara bedah buku di Makkareso.
Kami juga mengadakan “Jappa-Jokka Makkareso” di kampus STKIP YAPTI, Jeneponto. Di bawah rimbun rumpun bambu, kami berdiskusi dengan mahasiswa sembari membaca puisi. Berawal dari Makkareso-lah kami kemudian mengelola program acara “Pappasangta” di RRI Pro4 Makassar.
Memperingati setahun Makkareso, pada Hari Raya Idulfitri, bulan Juni 2017, saya mengajak teman-teman ke rumah mencicipi coto Makassar dan soto di rumah, Kompleks Anggrek, Minasa Upa. Beberapa teman yang biasa hadir membaca puisi di RRI Pro4 juga diundang. Sekali lagi, perlu saya sampaikan, dari kegiatan di komunitas Makkareso itu, saya mulai diajak dalam kegiatan-kegiatan kesenian. (*)
Makassar, 18 Maret 2024