Fiam Mustamin, Jakarta, dan Perfilman Nasional

Fiam Mustamim
Rusdin Tompo (kiri) bersama AB Iwan Aziz

Fiam Mustamin di hadapan undangan mengaku, penerbitan dan peluncuran bukunya ini sesuatu yang ni nawa-nawa, yang dia impikan. Ketika dia menyerahkan bukunya kepada beberapa orang, antara lain, Hj Munasiah Daeng Jinne, maestro penari pakarena, matanya tampak berkaca-kaca.

Harus diakui, kata Iwan Azis, tidak semua orang mampu bertahan hidup di ibu kota Jakarta. Sebab, tidak bisa hanya sekadar pindahkan cara hidup di Makassar ke Jakarta.

Saya pun meng-iyakan. Berdasarkan kisah beberapa tokoh asal Sulsel, yang pernah saya dengar, mereka memilih pulang kembali ke Makassar karena merasa tidak cocok dengan suasana di sana.

Iwan Azis memuji Fiam Mustamin yang tetap terjaga identitasnya sebagai orang Bugis. Katanya, logat Soppeng Fiam tidak hilang walau sudah lama hidup di rantau.

Fiam Mustamin lahir tanggal 1 Januari 1954, di daerah pegunungan Sering Watanlipue, Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelum ke Jakarta meniti kariernya, dia bergaul dengan seniman dan budayawan di Makassar.

Fiam di mata Iwan Azis adalah sosok yang sombere. Dia rendah hati. Punya banyak kenalan public figure, mulai selebritas, sosialita, politisi, tokoh ternama, hingga pejabat tinggi.

BACA JUGA:  MEMBINCANGKAN [LAGI] KEKUASAAN

“Saya terhubung dengan beliau karena satu organisasi di PARFI. Beliau di pusat saya di Sulsel,” tambah Iwan Azis.

Fiam eksis di organisasi perfilman dan kesenian. Nama Fiam dikenal di kalangan artis, Lingkungan pergaulannya Zaenal Bintang, Rahman Arge, Aspar Paturusi, dan lain-lain. Diakui, Fiam juga punya kemampuan menulis yang baik.

Fiam, lanjut Iwan Azis, mampu masuk dan ikut berkontribusi dalam organisasi-organisasi besar di Jakarta. Dia bahkan selalu ada di lingkaran dalam suatu organisasi. Misalnya di KKSS

“Ibarat pohon, dia ranting di antara batang-batang kayu pohon yang rimbun,” begitu Iwan Azis menggambarkan sahabatnya itu.

Lantaran faktor usia, Iwan Azis mengaku sudah jarang ke bioskop. Namun dia tetap mengikuti perkembangan film nasional. Sudah jadi habitusnya, sehingga segala yang berbau film selalu membuatnya antusias.

Luar biasanya, daya ingatnya masih kuat. Dia tak perlu menggunakan mesin pencari Google, kalau bicara tentang film-film bertema Sulawesi Selatan, dengan film maker yang kesohor di masanya.

Dia menyebut sejumlah film yang tenar dan sempat melambungkan aktor-aktor dan produser asal Makassar ke pentas nasional.

BACA JUGA:  Pengalaman Mengikuti Seleksi Calon Komisioner KPID Sulawesi Selatan Periode 2007-2010

Film Di Ujung Badik (1971), katanya, diangkat dari tulisan karya Rahman Parenrengi, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Tegas. Judul asli tulisannya berbahasa Makassar, yakni “Bombongna Biring Moncong”.