Oleh: Asnawin Aminuddin (Komisi Kominfo MUI Sulsel / Majelis Tabligh Muhammadiyah Sulsel)
NusantaraInsight, Gowa – Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Allah berfirman, wa maa khalaqtul-jinna wal-ingsa illaa liya’buduun, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56)
Jadi kita hidup di dunia ini memang ditugaskan untuk beribadah. Mengapa kita ditugaskan beribadah? Karena kita masih akan menghadapi beberapa tahapan kehidupan berikutnya setelah mati dan itu butuh bekal, dan bekal itu adalah ibadah.
Setelah kematian kita di dunia ini, kita akan menghadapi alam berikutnya yaitu alam barzakh. Alam kubur. Di alam barzakh, kita bisa bahagia dan bisa juga sengsara. Kita bisa mendapat azab dan bisa juga mendapat nikmat dari Allah SWT. Itu tergantung ibadah atau perbuatan dan amalan-amalan kita selama hidup di dunia ini.
Selanjutnya, dunia akan kiamat. Semua makhluk ciptaan Allah, semuanya akan mati. Setelah itu, kita dibangkitkan kembali dan kemudian dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk menghadapi hizab, timbangan amal dan dosa-dosa kita selama berada di dunia, selama hidup di dunia ini.
Setelah itu, kita akan masuk surga atau masuk neraka. Dan itu semua bergantung amal ibadah kita selama hidup di dunia.
Maka selama masih ada kesempatan, selama hidup di dunia ini, manfaatkanlah untuk sebanyak-banyaknya beribadah kepada Allah.
Ibadah itu terbagi dua kategori, yakni ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdah. Ibadah mahdah adalah hablumminallah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, dan dzikir.
Selanjutnya, ibadah ghairu mahdah, hablumminannas, ibadah yang tidak langsung berhubungan dengan Allah, ibadah hubungan antar-manusia, seperti sedekah, akhlak, sopan santun, tidak menyakiti perasaan orang lain, dan sebagainya. Dengan kata lain, ibadah ghairu mahdah merupakan ibadah yang bersifat sosial-kemanusiaan.
Ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat, haji, semua itu wajib hukumnya, kecuali bila ada halangan atau tidak mampu melakukannya. Naik haji misalnya, hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu.
Kita ambil contoh, ibadah shalat. Shalat itu wajib hukumnya. Sesibuk apapun kita, dalam kondisi bagaimana pun kita, kita tidak boleh meninggalkan shalat, kecuali kalau memang tidak bisa melaksanakannya, misalnya karena sakit.
Kalau alasannya tidak beribadah atau jarang shalat karena sibuk mengurus harta, sibuk mengurus pekerjaan, apakah kita lebih kaya dari Nabi Sulaiman? Lebih sibuk dari Nabi Sulaiman?