Kedai Kopi, Teori Tempat Ketiga, dan Ruang Kreativitas

Rusdin Tompo dan Fadli Andi Nasif di kedai kopi
Rusdin Tompo dan Fadli Andi Nasif di kedai kopi

Oleh: Rusdin Tompo (Koordinator Satupena Sulawesi Selatan)

NusantaraInsight, Makassar — Di kedai kopi, warung kopi, atau kafe, kita tak hanya sekadar datang untuk membeli segelas kopi, lalu menyeruputnya. Tak peduli apakah meminum kopi atau menikmati kopi, tempat semacam kedai kopi, warkop, atau kafe lebih dari sekadar tempat untuk transaksi, meski hitung-hitungan ekonomi jadi salah satu pertimbangan tempat-tempat itu tumbuh di berbagai sudut kota.

Di Makassar, yang aktivitas warganya sudah 1×24 jam, tempat-tempat nongki seperti itu bagai magnet yang mengundang setiap orang datang. Ia bagai ruang publik, teras rumah, atau ruang tamu yang ramah. Tak heran bila jumlahnya terus membiak karena berbagai kalangan dan kelas sosial menjadikannya bagian dari keseharian mereka.

Studi yang dilakukan Ahmad Asyraf Thufail, Ihsan, dan Laode Muh Asfan Mujahid, tentang “Analisis Karakteristik Lokasi Warung Kopi di Kota Makassar”, pada November 2020 hingga Mei 2021, menemukan ada 628 warkop dan kafe yang tersebar di 233 titik di 14 kecamatan se-Kota Makassar (Jurnal WKM Volume 10 No 2 November 2022). Sementara Dinas Pendapatan Daerah (Duspenda) Kota Makassar menyebut, ada 807 kafe dan coffee shop di Makassar, yang menyumbang pemasukan pajak bagi kota ini sebesar Rp55 miliar, pada tahun 2023 (www.idntimes.com). Tempat-tempat minum kopi ini tentu saja punya tampilan yang juga beragam, mulai yang standar dengan suguhan ala kopi tradisional hingga hidangan kopi dengan cita rasa mewah dari jaringan kafe franchise berskala internasional.

BACA JUGA:  Fiam Mustamin, Jakarta, dan Perfilman Nasional

Sejarah kopi memang terbilang panjang. Sejak masa kolonial kopi didatangkan dari Malabar, India, pada tahun 1696. Penjajah Belanda mengembangkan budidaya kopi melalui sistem tanam paksa. Jadi, ada keringat, air mata, dan penderitaan di sana, serupa warna pekat hitam kopi dan rasa pahitnya.

Begitupun dengan tempat menikmati kopinya. Juga sudah ada sejak lama di Makassar. Tempat-tempat itu tercatat masuk dalam jajaran tempat ngopi legendaris dan hingga saat ini masih bisa dijumpai.

Tong San, yang didirikan tahun 1943, disebut-sebut sebagai pelopor warkop di Kota Daeng. Mula-mula warkop Tong San, yang dalam bahasa Mandarin berarti “matahari terbit” ini, berada di Jalan Banda, kemudian pindah ke sudut Jalan Pasar Ikan-Jalan H Borra, dekat Pantai Losari, setelah suami Liem Sie, pendiri warkop, tewas akibat ledakan bom tentara Dai Nippon.

Hai Hong, merupakan warkop berikut yang masuk dalam jajaran perintis dan masih eksis. Lokasi warkop yang didirikan tahun 1945 oleh Tham Yo Hai ini berada di Jalan Bonerate, tak jauh dari Gedung Kesenian Societeit de Harmonie. Kini pengelolaan warkop Hai Hong sudah di tangan generasi ketiga.