Warkop Phoenam, yang dalam bahasa Mandarin berarti “terminal” atau “tempat persinggahan di Selatan”, sudah ada sejak tahun 1946. Warkop yang didirikan oleh Liong Thay Hiong itu, awalnya di Jalan Nusantara, lalu pindah ke Jalan Jampea di tahun 1994. Kini Phoenam tak hanya di Makassar tapi juga punya cabang di Jakarta.
Pada tahun 1975, warkot Dottoro didirikan oleh mendiang Idrus Daeng Naba, yang semula bekerja sebagai pelayan warung. Nama warkop Dottoro, yakni sebutan dokter dalam bahasa Makaasar, diberikan oleh pelanggan yang menganggap datang ke warkop itu serasa bagai minum obat. Reputasi warkop Dottoro berkembang pada dekade 90an, dan kini punya puluhan cabang di seluruh Indonesia.
Haryanto, dalam disertasinya “Eksistensi Warung Kopi Sebagai Konsep Ruang Publik” (Program Pascasarjana Unhas, 2020) menyebutkan bahwa perkembangan warkop di Makassar terbagi atas tiga periode, yakni tahun 1920-1959, tahun 1960-1999, dan periode tahun 2000 sampai sekarang. Haryanto menghubungkan teori tempat ketiga (Oldenberg, 1999) dengan karakteristik warkop sebagai ruang pertemuan dan percakapan antarorang, yang mudah diakses, dengan suasana yang menyenangkan. Warkop itu tempat ketiga setelah rumah dan tempat kerja. Dengan meminjam teori Rafael Moneo (1979), dia melihat warkop punya kesamaan fungsi sebagai tempat bertukar informasi, tempat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan tempat bersosialisasi guna mengisi waktu luang.
Multifungsi warkop tergambarkan pada orang-orang yang datang ke sana. Ada yang datang sendiri mengambil posisi nyaman di salah satu sudut dengan segelas kopi dan roti bakar keju, saat pagi. Ada yang datang berdua, duduk ngobrol romantis, bersama kekasih hati, di kala senja. Ada yang menemui mitranya untuk negosiasi urusan bisnis, dan ngopi sebagai medium diplomasi.
Ada pula yang menjadikan tempat itu sebagai ruang belajar untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, mengadakan diskusi politik dengan tema-tema aktual sebagai strategi advokasi, atau menggelar live musik akustik untuk hiburan dan apresiasi. Juga ada yang menjadikannya sebagai jejaring gerakan literasi sastra lewat kegiatan bedah buku dan pembacaan puisi.
Bagi penulis, kedai kopi, warkop, dan kafe merupakan ruang kreativitas yang memberinya vitalitas dalam berkarya. Sejumlah penulis tenar mengaku rutin mengunjungi kedai kopi dan kafe untuk menulis. J.K. Rowling, pencipta tokoh khayali Harry Potter, suka mengunjungi Elephant House, kedai kopi di Edinburgh. Ernest Hemingway kerap bertandang ke Cafe La Rotonde ketika tinggal di Paris.