Musakkir Basri (Tukang service di Rumah Buku)
NusantaraInsight, Bulukumba — Terasa letih dengan peristiwa bangsa yang kian menyebabkan kematian, kerusakan, perpecahan, hingga perkelahian. Perbedaan ideologi dan mazhab menggiring kotak keegoisan.
Tumpang tindih Indonesia telah mencetak rekor MURI untuk film tanpa publikasi skenario. Bangsa menitipkan banyak sejarah tentang bumi manusia. Menyoroti banyak kisah tentang pahlawan.
Tertuang pada siklus hidup romantisme dan popularitas. Tak sedikit dari mereka meninggalkan kepala demi materi. Pun, tak sedikit kepala meninggalkan akal sehat demi kepentingan atas hak kuasa yang dipimpin.
Langkah demi langkah menyatakan hidup tak lagi dibutuhkan oleh tubuh manusia. Menolak untuk berharap pada bangsa yang tak lagi berpihak pada kebutuhan masyarakat.
Kebisingan idealisme menghasilkan banyak pertikaian. Korban idealisme berjatuhan dan berserakan di antara kegundahan kontrak politik. Kini, hidup tak lagi gelap untuk mencari warna, sebab ada banyak rupa yang menyebut golongan.
Tapi, hidup dibutuhkan untuk memberi warna harapan baru demi perubahan suatu iklim demokrasi. Entah masyarakat terancam absen dalam daftar hadir makan siang gratis dibalut harapan pada pesta demokrasi.
Pemimpin bangsa telah mengeluarkan pernyataan resmi terkait informasi pendidikan.
Pun, disusul dengan penyampaian kesetaraan pendidikan bagi seluruh masyarakat. Melihat statemen pemerintah kian mengalami fasisme dan seringkali kontradiksi dengan masyarakat desa khususnya Indonesia Timur: Bontonyeleng, Gantarang, Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Baru-baru ini terdapat salah satu desa di kabupaten Bulukumba mengalami krisis pendidikan. Hal tersebut ditandai pada masyarakat yang tak lagi melihat pendidikan sebagai kemajuan.
Tapi, masyarakat menganggap jika pendidikan hanya menghabiskan uang tanpa memenangkan penghargaan dari mereka yang terampas haknya oleh kontrak politik.
Mereka yang tak merealisasikan pendidikan dengan dasar kesejahteraan masyarakat, tetapi membentang kepentingan politik demi memenangkan kursi. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah manipulasi belaka.
Tertuang pada pemimpin yang tak menjadikan kesejahteraan, kesadaran, dan kehidupan sebagai bentuk implementasi pendidikan demokrasi.
Kemarau literasi menghimpit kemajuan desa untuk masyarakat. Meski banyak anggaran untuk pendidikan yang terlampir pada media sosial dan begitu juga pada pertelevisian.
Namun, masyarakat Bontonyeleng tak kunjung sembuh dari luka yang bangsa ini titipkan melalui akses pendidikan yang tidak merata.