(Diskursus Antara Politik Nilai dan Politik Kekuasaan)
Oleh: Mohammad Muttaqin Azikin*
NusantaraInsight, Makassar — Setiap kali memasuki tahapan suksesi kepemimpinan, sepertinya kegaduhan politik di negeri tercinta ini, tidak akan pernah ada habisnya. Mengapa demikian? Dalam perspektif Quran, hal itu diakibatkan karena terlalu banyak binatang berwajah manusia yang berkeliaran di jagat perpolitikan kita. Sebab itu, dalam dinamika politik yang dipertontonkan dan berlangsung di sekitar kita, hampir tak ada yang mencerahkan dan mendidik, tapi justru memuakkan serta menyesakkan sehingga melahirkan sikap antipati dari rakyat atau masyarakat yang sudah dirundung berbagai persoalan sosial.
Perpolitikan kita menjadi tidak sehat, karena mereka yang berkecimpung di dalamnya lebih banyak yang berorientasi untuk mengejar tampuk kekuasaan semata. Karena itu, segala cara dilakukan walau melanggar etika dan aturan yang ada, mengikut Niccolo Machiavelli dalam Il Principe-nya.
Akibatnya, dunia politik dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai dunia yang tak menjunjung tinggi nilai-nilai, karena di dalamnya yang dijumpai hanyalah tipu muslihat, kebohongan, kepalsuan dan pragmatisme. Padahal dalam Islam, baik buruk dari pola memperoleh dan menggunakan kekuasaan secara khusus dibicarakan, pada ilmu siyasah (pengaturan kekuasaan) atau politics (politik). Dan memang, kira-kira di masa pertama kali istilah itu diujarkan (zaman Yunani), tidak pernah ia terpisah dari etika. Ibarat dua sisi mata uang. Barulah di akhir zaman ini, politik jauh melenceng dari etika. Hal itu bisa diduga sebab-musababnya.
Sayyid Musa Kazhim pada tulisan pengantar buku “5 Partai Dalam Timbangan” mengungkapkan bahwa dalam The Republic, Plato jelas-jelas mengaitkan politik (pengaturan kekuasaan) dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Bagi Aristoteles, etika dan politik itu sama-sama mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Itulah yang diuraikannya dalam The Nicomachean Ethics dan The Politics. Ia banyak berbicara ihwal perlunya bekerja sesuai dengan peran, dan percaya bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Hal ini bisa tercapai bila seseorang menunaikan perannya dengan baik. Dan karenanya yang terpenting adalah mengenali peran kita masing-masing. Boleh jadi, dari kedua pemikir terkemuka inilah terlahir istilah ‘Etika Politik’.
Meraih kekuasaan pada dasarnya bukanlah merupakan aib, sesuatu yang tercela atau sebuah kejahatan, selama ia diraih dengan cara yang benar serta dilaksanakan di atas landasan nila-nilai yang benar pula. Bahkan dalam perspektif kearifan lokal di sejumlah daerah, kekuasaan seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang telah ditakdirkan oleh kekuasaan Adikodrati yang diserahkan kepada seseorang.