MEMBINCANGKAN [LAGI] KEKUASAAN

Kolumnis dan budayawan Jacob Sumardjo dalam tulisannya tentang ‘Renungan Kekuasaan’ menyebutkan bahwa Kekuasaan itu bersifat transendental, maka kekuasaan itu suci, harus dihormati dan ditaati, karena kekuasaan itu adalah cahaya. Bila si penguasa kemudian menampakkan dirinya bukan lagi sebagai terjemahan cahaya, maka kekuatan transendental akan turun tangan lagi. Mengapa kekuasaan itu dipercayai sebagai mengandung tugas suci? Karena yang dibutuhkan manusia atas sebuah pemerintahan adalah ditegakkannya kebenaran, dilenyapkannya kejahatan dan dijaminnya sebuah kedamaian. Dengan demikian, inti dari suatu kekuasaan adalah keadilan dan kebenaran.

Pada story of civilizations, Will Durant menegaskan bahwa tak satupun agama yang mendorong para pengikutnya kepada kekuatan dan kekuasaan, kecuali Islam. Banyak dalil yang menegaskan hal tersebut. Namun demikian, kaca mata Islam berbeda dengan kaca mata orang semacam Friedrich Nietzche. Islam melihat kekuasaan semata-mata sebagai kesempurnaan yang nisbi (relative).

Ibarat pisau, ia bermata dua: Bagus untuk menyembelih hewan milik sendiri, jelek untuk menyembelih hewan orang lain. Implikasinya, baik buruk kekuasaan itu harus dilihat dari sudut pandang tujuan dan cara penggunaannya. Bila mana untuk menegakkan keadilan, jelas baik adanya. Sebaliknya pun begitu.

BACA JUGA:  AB Iwan Azis dan Semangat Bela Negara

Dengan demikian, kekuasaan bukanlah nilai yang bebas, mandiri, dan terlepas dari nilai-nilai (kesempurnaan) yang lain. Kekuasaan itu dapat berbahaya kalau telah dicampur dengan kepentingan-kepentingan pribadi pemegang kekuasaan. Kekuasaan dapat berbahaya kalau moralitas pemegang kekuasaan sudah mulai melenceng dan mengalami degradasi.

Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, bila kekuasaan sudah mulai dilestarikan, mendominasi dan lama kelamaan menjadi “hegemoni”, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci, seorang intelektual Italia.
Seperti diketahui, fungsi hegemoni adalah mengabsahkan penguasa dan segala ketimpangan sosial yang diakibatkan oleh kekuasaan.

Bila hegemoni tercapai, penguasa tidak perlu terus-menerus menindas karena yang tertindas pasrah pada status quo. Mereka terbujuk untuk tidak lagi melihat adanya ketimpangan yang merugikan mereka sendiri, atau melihatnya sebagai sesuatu yang wajar, alamiah, bahkan adil dan sesuai dengan kehendak Ilahi! Hal seperti inilah yang pernah dikatakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib kemudian diulang kembali Ali Syariati, bahwa, “Penindasan atau kezaliman tidak akan pernah tegak, bila tidak ada kerjasama antara yang menindas dengan yang ditindas.”