Miris! Kasus Bullying Kembali Terjadi di Lingkungan Satuan Pendidikan

Penulis: Rika Arlianti DM (Tenaga Pendidik di UPT SPF SDN 121 Ereinung / Pembina Simpul Pena Agupena Cabang Bulukumba)

NusantaraInsight, Makassar — Sungguh miris, kasus bullying atau perundungan kembali terjadi di Lingkungan Satuan Pendidikan. Setelah kasus perundungan pelajar SMA Binus School Serpong, Tangerang, Banten, yang sempat hangat dibicarakan media. Menyusul kasus bullying yang lebih ekstrem sebab menyebabkan kehilangan nyawa di sebuah Ponpes Tartilul Quran Al-Hanifiyyah, Mojo, Kediri. Kemudian beberapa hari yang lalu, kembali viral video bullying yang terjadi di salah satu ruang kelas SMP Negeri di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur.

Dalam video berdurasi 2 menit 36 detik yang beredar melalui pesan WhatsApp tersebut, terlihat sekelompok pelajar melakukan kekerasan fisik terhadap korban di dalam kelas selama jam istirahat. Korban terlihat tak berdaya dan hanya duduk di kursi belajarnya tanpa melakukan perlawanan.

Melansir kaltimtoday.co, pihak sekolah memfasilitasi perdamaian antara pelaku dan korban melalui Unit Reskrim PPA Polresta Balikpapan sebagai respons terhadap viralnya video tersebut.

BACA JUGA:  TITIEK PUSPA DAN HIDUP YANG JENAKA

Setelah menjalani pemeriksaan lebih dari satu jam, semua pihak yang terlibat dalam video tersebut sepakat untuk berdamai, dan pihak sekolah berkomitmen untuk memperketat pengawasan terhadap siswa di lingkungan sekolah, guna mencegah kasus serupa di masa depan.

Kegagalan

Agustus 2023 lalu, Pemerintah telah menerbitkan Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Namun faktanya, kasus bullying masih terus terjadi.

Gagalnya peran Tri Sentra Pendidikan, yakni sekolah, orang tua, dan masyarakat juga menjadi penyebab utamanya. Mengapa demikian? Karena sekolah menganut sistem kapitalisme. Akibatnya sekolah menjadi lemah karena sistem pendidikan yang diadopsi tidak memiliki mekanisme sahih dalam pembentukan perilaku.

Kebijakan terkait kurikulum oleh negara tidak mampu membentuk perilaku yang bernilai dan berkarakter salih. Penerapan kurikulum yang dipilih lebih mengedepankan aspek akademik dengan bayang-bayang jenjang karir, tapi minim pada pembentukan karakter islami.

Orang tua pun demikian, orientasi kapitalis membuat citra mereka buruk di mata anak-anak. Terlalu sibuk mengejar materi dan semacamnya, hingga menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada sekolah mengenai proses pendidikan anak. Padahal sejatinya, lingkungan keluarga adalah madrasah pertama bagi anak-anak.

BACA JUGA:  Komisi Informasi Sulsel Garda Terdepan Gerakan Transparansi dan Keterbukaan Informasi Publik, "PASTI BISA"

Peran masyarakat juga sangat lemah karena sikap sekularisme dan merasa tidak bertanggung jawab atas proses pendidikan di sekolah. Manusia sekuler gemar berbuat semaunya, acuh tak acuh, bahkan apatis.