Pemilu 1999, Pembicara tentang Media untuk Caleg Partai Baru

Saya bisa terhubung ke IRI, setelah diminta menjadi salah seorang narasumber oleh Maria, dalam kegiatan IRI di Makassar. Kala itu, IRI memberikan semacam pembekalan kepada calon legislatif terpilih dari partai baru. Maria bekerja di IRI.

Dia sebelumnya merupakan penerjemah (interpreter) ketika saya mengikuti pelatihan jurnalistik radio yang diadakan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang diadakan di Novotel Hotel, Golf Resort and Convention Center, Bogor, tahun 1999. Dari Makassar, yang ikut pelatihan ini hanya saya dan Andi Mangara.

Selama pelatihan jurnalistik radio dengan trainer David Candow dari The Committee to Protect Journalists (CPJ), Kanada, saya sekamar dengan Erick Sasono. Erick Sasono, ketika itu, mewakili Radio Delta FM. Belakangan dia terkenal sebagai kritikus film. Tulisan-tulisan esainya memperoleh penghargaan Piala Citra, sebagai Kritikus Film Terbaik, pada Festival Film Indonesia (FFI) 2005 dan 2006. Dia juga pernah bekerja di Internews Indonesia dan UNESCO (www.indonesiafilmcenter.com).

Ada tiga narasumber dalam kegiatan yang fasikitasi IRI, yakni Husain Abdullah, dari unsur media TV, Sukriansyah S Latief, dari media cetak, dan saya dari radio. Husain Abdul, akrab disapa Kak Uceng, saat itu merupakan jurnalis RCTI, Sukriansyah S Latief, biasa disapa Uki, merupakan wartawan harian Fajar, juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar. Sementara saya bekerja sebagai reporter di Radio Bharata FM. Andi Mangara dari Radio Mercurius FM, menjadi moderator acara itu.

BACA JUGA:  Indira Jusuf Ismail, PKK, dan Kota Layak Anak

Para politisi dan caleg terpilih ini, tentu saja tidak dilatih untuk terampil melakukan peliputan, tapi lebih bagaimana mereka memahami kerja jurnalis, mengakses media massa, dan memanfaatkannya untuk penguatan demokrasi.

Kepada mereka digambarkan tentang nilai berita (news value) dan kelayakan berita (newsworthy) dari sudut pandang dan karakteristik media cetak, televisi, dan radio, yang masing-masing berbeda. Secara sederhana digambarkan, bagaimana mereka sebagai politisi dan anggota dewan memanfaatkan media secara “murah” dan “gratis”, bila tahu menggunakan momentum dan mengelola isu.

Sebagai politisi di parlemen, mereka sesungguhnya sudah merupakan sumber berita. Jadi, mereka mesti bisa mengkonversi tugas-tugasnya dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tolok ukur kinerja dewan juga dapat dibaca, didengar, dan dilihat melalui pemberitaan.

Diingatkan, bahwa mereka tak harus menunggu jurnalis datang atau mengadakan jumpa pers. Perlu proaktif membangun komunikasi, bila ada kejadian atau infornasi yang mereka tahu punya nilai berita. Disampaikan kepada mereka terkait nilai berita, yakni antara lain, aktual, kedekatan, keterkenalan, pengaruh, dan penting. Bila ada hal baru, unik, punya sisi kepentingan publik, berdampak pada kemanusiaan atau warga, maka seperti itu yang punya nilai berita.