PERISTIWA KEBUDAYAAN, MERINDU TRADISI (Katarsis Januari)

Oleh: Syafruddin Muhtamar.                Penulis Buku: Masa Depan Warisan Luhur Kebudayaan Sulawesi Selatan

NusantaraInsight, Makassar — Sejarah manusia, sesungguhnya adalah peristiwa kebudayaan. Peristiwa yang timbul, sebagai wujud refleksi dari hazrat dan rasio manusia, akan masa depan. Peristiwa yang umum, kita kategorisasi sebagai kebudayaan.

Peristiwa kebudayaan itu, merentang dari kaki waktu berpijak kini (modern/postmodern), hingga ke waktu lalu, yang ‘jauh’, bahkan mungkin telah hilang dalam benak ‘literatif’ publik. Terutama apa yang sering kita namai sebagai Tradisi, kebudayaan pra-modern. ‘Bayang-bayang’ Tradisi masih sering datang menggoda dalam labirin imaji kita, sebagai mimpi, yang mendesak minta perwujudan, di era hidup modern kita.

Bayangan kebudayaan Tradisional, menjadi obyek rindu, bagi rasio berkebudayaan kita, di tengah kehidupan berbasis sains dan teknologi mutakhir. Rindu akan ‘bayang Tradisi’ adalah implikasi kebudayaan modern, yang menyertai manusia, bukan hanya dalam mimpi indah, tetapi sekaligus mimpi buruk, dalam problem-problem fundamental. Yang manusia modern sendiri, ‘kelimpungan’ mengupayakan penyelesaiannya. Dari multi krisis yang menerpa kehidupan masyarakat modern: dari krisis kemanusiaan, alam, keamanan, kesehatan, ekonomi, politik, moral, krisis spiritual.

BACA JUGA:  Rivalku Sahabat Terbaikku

Modernisme, menggerus ‘hakikat’ kehidupan manusia dengan motif profannya. Sungguh-sungguh telah menggelisahkan ‘orientasi’ fitrah kemanusiaan kehidupan yang, bersifat Sakral. Karena itu, masyarakat manusia senantiasa tergelitik untuk merindui kembali ‘masa lalunya’, dalam kehidupan Tradisi. Sebab Tradisi sebagai kebudayaan, mengandung ‘daya goda’ sakramental. Tradisi memberi ruang penjelajahan resolusi esensial, terhadap problem-problem fundamental yang ditimbulkan oleh kecanggihan modernisme.

Karena itu, rangkaian peristiwa-peristiwa kebudayaan, kita produksi tanpa henti, demi kebudayaan Sakral itu. Bentuk-bentuk dan nilai ‘kehidupan lampau’, kita hadirkan dalam segmen kesenian, kesusastraan, talk-show, seminar dan keberagaman media-media bincang lainnya, baik formal maupun non formal. Dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat, maupun individual. Visinya sama: mengembalikan ‘identitas kebudayaan otentik masyarakat nusantara’.

Dan, produksi peristiwa itu, juga telah berjalan sepajang usia pemerintahan, dan masyarakat modern. Sejak republik ini didirikan, pertengahan abad 19.
Festival F8, Kongres Kebudayaan hingga DKSS, Sulawesi Selatan
Sulawesi Selatan (Sulsel), sebagai bagian administratif yurisdiksi RI, tidak luput dari upaya produktif, untuk menghidupkan ‘kembali’ kebudayaannya. Baik sebagai tanggungjawab konstitusional, maupun sebagai gerakan kewarganegaraan.
Adalah Makassar Internasional Eight Festival and Forum (MIEFF), populer dinamai Festival F8. Sebuah event ‘bercorak kebudayaan lokal’, menjadi peristiwa kebudayaan tahunan, yang diinisiasi pemerintah kota Makassar. Event-nya telah berlangsung 5 atau 6 kali, sejak dihelat pertamakali tahun 2016. Sebuah program ‘kreativitas dan kepariwisataan’ yang mengarak tema Tradisi, dan didesain dalam skala Internasional.