PERISTIWA KEBUDAYAAN, MERINDU TRADISI (Katarsis Januari)

Mem-fesitival-kan Tradisi lokal, menjadi satu cara baru yang sedang diganderungi, satu dekade terakhir, di tanah air. Kebudayaan lokal, sebagai muatan utama, ditampilkan dalam ragam dan pola kreatif. Citra kebudayaan lokalnya, dibuat kental, melalui ekspresi khas maupun eksperimental. Mengkolaborasikan wujud dan potensi kebudayaan lokal, dengan dinamika kemajuan teknologi mutakhir, bidang teknologi informasi (IT), baik yang berplatform digital maupun Artificial Intelligent (AI).
Festival kebudayaan lokal, menjadi bukti bahwa ‘kerinduan akan masa lalu’ senantiasa hadir dimasa kini. Suatu peristiwa kebudayaan ‘rekayasa’, yang berimplikasi pada ‘pengingatan kembali’ terhadap suatu eksistensi kehidupan yang ‘dirindukan’. Di tengah ‘kegamangan eksistensial’ kita, hidup dalam masyarakat yang dibuai gegap gempita dari hiruk pikuk kebudayaan ‘industrial’, secara masif.

Bahwa kebudayaan modern yang membesar dan kokoh dalam basis materialisme, dan di drive melalui sains, tidak mampu sepenuhnya ‘membunuh’ kebudayaan Tradisional kita, yang bertumpu pada idealita-spritualitas. Karena itu, ‘keberadaanya’ masih kita rayakan dalam ‘ritual’ festival-festival.
Masih dalam rangka meneguhkan ‘kembali’ kebudayaan lokal. Sebuah kongres tentang kebudayaan Sulsel, diselenggarakan sekitar tengah tahun 2023. Temanya: Pemajuan Kebudayaan Menuju Indonesia Emas 2045. Atas inisiator seorang legislator nasional, dan mendapat dukungan antuasias, organisasi budaya dan seni, seniman, budayawan, dan masyarakat, melalui kegiatan pra-kongres, berupa temu ‘interaksi budaya’ akhir tahun sebelumnya.

BACA JUGA:  Ibadah dalam Kondisi Apapun

Peristiwa itu, juga menjadi semacam, ‘penanda hidup’ bagi kebudayaan lokal Sulsel. Kebudayaan, yang senasib mayoritas kebudayaan lokal di Nusantara, ‘berdenyut dengan detak nadi yang begitu lemah’ ditengah dentum nada cadas kebudayaan modern.

Kongres ini, mencoba mengkonseptualisasi problem dasar kebudayaan Sulsel, untuk menjadi acuan konstruksi kebijakan strategi, bagi pemajuan kebudayaan di Sulsel secara khusus, dan kebudayaan Nasional secara umum. Sebuah bukti, bahwa kebudayaan lokal yang tengah ‘bergelut dalam kepunahan’ itu, masih memiliki pesona seksi nan menggoda, untuk dipikirkan ‘kemajuannya’.

Dan bahkan, mendapat tempat ‘istimewa’ di jantung konstitusi RI (pasal 18B, 28, dan 32), dengan nomenklatur “Kebudayaan Nasional”; “Masyarakat Hukum Adat”; “Hak-hak Tradisional”, “Identitas Budaya”; “Pemajuan Kebudayaan”; dan “Nilai-nilai Budaya”. Hasil kongres, menghendaki lahirnya regulasi Daerah bagi kepastian perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan sepuluh objek pemajuan kebudayaan, menurut UU No. 5/2017.