Peristiwa kebudayaan lain, yang juga bagian dari perjalanan ‘kembali’ pada kebudayaan lokal, adalah musyawarah besar luar biasa (Mubeslub) Dewan Kesenian Sulsel (DKSS). Organisasi bidang kesenian yang kelahirannya, berbarengan masa orde baru (1969), salah satu wadah sosial berkesenian tertua, yang telah mengambil andil bagi pemajuan kesenian dan kebudayaan umum, di Sulsel. Kiprahnya, dinamis dalam sejarah pemerintahan untuk program-program kesenian, di daerah ini.
Jelang bulan, tutup Tahun 2023, DKSS menyelenggarakan suksesi kepemimpinan, secara ‘luar biasa’. Kevakuman organisasi ini, selama dua dasawarsa, menjadi kondisi ‘darurat’, untuk ‘membenarkan’ langkah ‘luar biasa’, memilih secara aklamasi ketua baru, demi ‘geliat’ baru DKSS, sekarang dan masa yang akan datang.
Juga sebuah pertanda, betapa kesenian, sebagai salah satu elementer dasar kebudayaan, senantiasa mendapat tempat untuk diwadahi eksistensinya. Meski, wadah itu telah sekian lama, ‘menganggur’ tanpa daya. Kini, hidup kembali dengan gairah, yang mungkin lebih bergelora.
Strategi Organik Menghidupkan Kebudayaan Lokal
Tradisi (kebudayaan lokal) adalah wilayah ‘bertuan’. Kehidupannya berasal dari nilai-nilai yang mengandung sakralisme. Nilai sakral itulah ‘tuan’ bagi kebudayaan lokal. Sakralitasnya menelungkup dunia universal. Penyematan kata lokal, dilakukan hanya sekadar, untuk menandai ‘batas geografis’ terkecil (minor) dimana nilai sakral itu masih dipraktikkan. Sementara nilai-nilai profan, dari kebudayaan modern, menempati wilayah geografis terbesar (mayor), dalam implementasi.
Maka pertanyaannya, apa yang menjadi pokok soal mengenai problem kebudayaan lokal? Atau, apa yang kita definisikan sebagai ‘masalah’ kebudayaan lokal? Sehingga butuh perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan atas kebudayaan tersebut. Jika ketiadaan kejelasan, mengenai apa yang dipostulasikan sebagai kebudayaan lokal, maka juga ‘selamanya’ kebudayaan lokal itu, akan kita perlakukan tidak berdasar pada kehendak ‘tuannya’.
Kehadiran negara, juga menjadi sebagai salah satu ‘faktor penyebab’ mengkerdilkan sistem kehidupan tradisional, dimasa lampau. Karena ‘negera’ merupakan bagian dari kebudayaan modern. Maka kebijakan dalam pengelolaan kebudayaan lokal, tidak dilakukan berdasarkan kehendak ‘tuan’ dari wilayah kebudayaan lokal itu. Sehingga, strategi ‘membangun kebudayaan’ bersifat anorganik.
Hanyalah, sebuah upaya me-modernisasi kehidupan Tradisional. Paling jauh, tradisi menjadi bahan ‘komoditi’ bagi semangat industrialisasi dari modernisme.