PERISTIWA KEBUDAYAAN, MERINDU TRADISI (Katarsis Januari)

Kebudayaan lokal yang Tradisi itu, tetap saja mendekam dalam labirinnya yang sunyi senyap. Nampak bertahan, hanya karena ada peristiwa kebudayaan yang diproduksi, untuk menampilkannya. Tradisi tidak lagi menjadi way of life, bagi penganutnya, karena kebijakan negara, mendorong nilai mayoritas (modernisme), yang bukan Tradisionalisme.

Problem utamanya: ‘manusia kebudayaan’ sudah lama tercelup dalam profanisme, sehingga ‘berat’ kembali pada akar primordialnya, sakralisme. Pada esensinya, ‘manusia kebudayaan’ fitrahnya bersifat Sakral, namun terselubung selaput nilai profan (materialisme/form). Sehingga gerakan pemajuan kebudayaan, patut ‘dicurigai’ hanya mampu sampai pada batas terluar dari Tradisi, yakni bentuk-bentuk.
Karenanya, strategi kebijakan yang bersifat organik, mungkin dapat menjadi pilihan. Dengan: memandang kebudayaan lokal dalam esensinya sebagai Tradisi (traditio=ikatan surgawi), lawan dari ‘ikatan duniawi’ (modernisme).
Mendorong ‘manusia kebudayaan’ untuk mencintai nilai-nilai Sakral dari Tradisionalisme, melalui otorisasi praktik nilai-nilai Tradisional dalam ranah kehidupan modern: dalam beragam segmen kebudayaan.

Dan, tidak terbatas pada bidang kesenian dan kesusastraan, pemikiran/intelektualitas, tetapi juga dalam berbagai level ‘status sosial’ modern. Terutama dalam bidang kepemimpinan formal politik pemerintahan, korporasi, dan kehidupan sosial kewarganegaraan, dalam berbagai prediksi.

BACA JUGA:  Lahan Contoh Penghijauan di Kec. Parado Bima (2): Produksi Meroket, Harga Merosot

Tradisi tampil, tidak terbatas dalam bentuk otentiknya sebagai bentuk Tradisional, tetapi meluas dalam kerangka bentuk pragmatis kehidupan modern.

Strategi kebijakan organik menghidupkan kebudayaan lokal adalah proses Tradisionalisasi kehidupan modern, melalui kebijakan yang berorientasi pada ‘tuan Tradisi’, untuk mencapai titik equilibrium peradaban manusia Nusantara. Dimana kebudayaan modern, mengalami transformasi esensial, melalui suatu ‘risiko berat’ perubahan paradigma: dari human-centrum, ke teo-centrum.

Makassar, 31/12/2023.