Petualangan Spiritual Tak Berujung Syahriar Tato

Petualangan Spiritual Tak Berujung Syahriar Tato
Petualangan Spiritual Tak Berujung Syahriar Tato

Membahas karya puisi berarti kita menjerumuskan diri dalam dielaktika mengenai kehidupan dalam ungkapan yang terkadang sangat absurd dan abstrak. Jejeran frasa,klausa, dan kalimat dalam puisi merupakan simbol produk perenungan dan kontemplasi yang sangat “radikal”. Puisi kemudian menawarkan sebuah “kehidupan’ dalam imaji seorang penyair.

Salah satu unsur penting dari puisi adalah aspek estetik yang terungkap melalui diksi yang digunakan. Diksi dalam puisi kerap unik dan ketika itu terjadi, di situlah seorang penyair akan ‘orgasme’ dengan keindahan. Bagi penikmat, awalnya mungkin membingungkan, tetapi ketika mampu menangkap makna yang ada di balik diksi yang digunakan, di situlah dia akan merasakan jatuh dalam jurang keindahan dan kenikmatan memahami puisi. Dulu, ada istilah bahwa puisi itu adalah koleksi kata yang muskil. Seorang penyair dianggap berhasil jika mampu mengungkapkan kata yang sulit dipahami. Tetapi ada hikmahnya, ketika penikmat menemukan makna yang dimaksudkan oleh sang penyair .

Penggunaan simbol dalam puisi adalah sebuah keniscayaan. Dalam karya Syahrial Tato ini banyak menawarkan nilai-nilai moral dalam kehidupan yang tersimbolisasi dalam kaitannya dengan kehidupan spiritualnya. Tidak heran Dr. Asia Ram Prapanca menyebut, meskipun penyair hanya beberapa kali menyebut kata ‘masjid’ di dalam puisinya, namun tempat ibadah umat muslim itu ada di pesawat, kereta, dan juga mobil. Artinya, nuansa spiritual membawa sang penyair ke moda transportasi publik tersebut.

BACA JUGA:  TANGISAN GERIMIS

Secara tersirat atau pun tersurat penyair pun menitipkan etika dan kebenaran dalam kehidupan, seperti yang terungkap dalam 81 karya pada Episode I “Mengejar Tapak Allah”.

Penulis mengakui bahwa dalam karyanya ini dia ingin ungkapkan cintanya pada Allah dan mengaitkannya dengan Asmaul Husna, 99 nama Allah. Ungkapannya ini dapat kita lihat dengan ketulusan penulis menggunakan nama-nama dalam Asmaul Husna pada awal puisinya “Mengejar Tapak Allah”,yang merupakan nama-nama Yang Maha Pencipta ini. Misalnya, “Ya Mutakabbir, Ya Kabir (Khabir), Ya Rahman, Ya Ghaffar, ya Rahim”, dsbnya.

Menurut Syafruddin Mukhtamar, sastra merupakan salah satu wadah untuk mendapatkan kebahagian jiwa, meskipun kita tidak tahu mengaitkannya dengan sastra apa. Namun melalui karya ini ada relasi mahluk dengan Tuhan Yang Maha Besar. Kalau sastra sufi adalah seseorang yang orientasinya untuk mencintai-Nya. Namun sang penyair memiliki hasrat yang kuat untuk mendekati-Nya (melalui karyanya).
Dia mengatakan, di dalam puisi itu pengejaran terhadap Tuhan itu berhenti pada “tapak”. Kata “tapak” ini tidak dapat dimaknai secara leksikal karena berkaitan dan mengandung makna yang transendental. Penyair pada awal karyanya menyebut dirinya sebagai ;debu’ dan tidak ada pilihan harus datang dan bersujud dalam posisi menghambakan diri pada-Nya. Pembukaan dan penutupan puisi ini, kata Syafruddin Mukhtamar, bisa merefleksikan suatu perjalanan seorang penyair itu tidak dengan keangkutannya.