Geger menuturkan, cerita La Ode Wuna yang dikembangkan dan ditangkap orang-orang Buton turut menentukan sejarah Seram. Di samping tafsirnya sebagai cerita mistis akan sosok berbadan ajaib, kisah ini juga ditafsirkan sebagai penjelasan atas asal-usul orang Buton di Pulau Seram, yang memiliki leluhur dan sudah sejak dulu di sana, dan punya hak atas tanah.
“Ini cerita drama sosial politik di Seram khususnya dan di Maluku umumnya, dan itulah sebabnya cerita ini jadi subjek yang saya analisa dalam disertasi saya,” ujarnya.
Warisan Budaya Tak Dimuseumkan
Geger juga membahas tentang warisan budaya yang tidak dimuseumkan pada disertasinya. Ia menuturkan, objek sejarah dapat dipakai masyarakat sebagai bukti sejarah atas keberadaannya sejak dulu di suatu tempat. Untuk itu, objek sejarah justru dapat berguna dan punya arti dengan tidak dimuseumkan tetapi bersirkulasi dan digunakan masyarakat.
“Objek sejarah itu juga punya artinya sendiri dan itu bisa jadi berguna, bukan justru dengan dimuseumkan atau ditaruh di tempat terpisah yang di kotak-kotakkan begitu, tapi justru dengan menjadi bukti sejarah yang dipakai oleh masyarakat,” ucapnya.
“Misalkan untuk menunjukkan ‘Oh saya sebagai bagian dari masyarakat sudah ada lebih dahulu dari komunitas lain, dan ini barang buktinya’ atau misalkan untuk bilang ke orang dari kelompok masyarakat lain kalau ‘nenek moyang kamu sudah ada di masyarakat kami dari zaman dahulu, ini bukti barang sejarahnya’,” jelasnya.
Ia menuturkan, di tengah klaim orang mana yang paling pertama tinggal di suatu tempat, tanah, dan hak-hak lainmya, masyarakat tetap akan perlu saling rangkul. Ini juga dapat terlihat dari warisan budaya yang tidak dimuseumkan.
Geger mencontohkan, kecenderungan kerja sama dan aliansi mendukung mereka bertahan sebagai sebuah masyarakat. Objek budaya terkait kerja sama, seperti gong, adalah simbolnya. (Sumber : Detik)