2. Struktur puitis yang kuat: Puisi dengan irama, ritme, dan diksi yang kaya memberikan ruang baginya untuk mengeksplorasi musikalitas. Puisi Sapardi Djoko Damono, misalnya “Dalam Doaku”, memiliki kepekaan lirik yang memungkinkan Ananda menciptakan komposisi yang harmonis dan ekspresif.
3. Tema universal dan reflektif: Ananda juga tertarik pada puisi dengan tema universal seperti cinta, perjuangan, kehilangan, atau refleksi sosial. Puisi seperti “Invictus” karya William Ernest Henley, yang mengekspresikan ketabahan dan keberanian, menginspirasinya untuk menciptakan karya yang mendalam dan inspiratif. Puisi Hasan Aspahani seperti “Palestina” dan puisi saya, Pulo Lasman Simanjuntak berjudul “Menulis Syair untuk Presiden – episode 2” juga menggugahnya karena mengangkat penderitaan dan pengorbanan.
4. Fleksibilitas untuk transformasi musikal: Ananda Sukarlan mencari puisi yang memungkinkan “menabrak batas-batas makna” melalui musik, sehingga puisi dapat diakses oleh audiens lintas budaya tanpa kehilangan esensinya. Tembang Puitik memungkinkan transformasi puisi menjadi komposisi musik klasik yang menerjang batasan bahasa, seperti saat bekerja dengan puisi Sapardi atau Joko Pinurbo, yang memungkinkan pendengar asing merasakan keindahan puisi Indonesia melalui elemen musikalnya.
Dalam dekade terakhir, Ananda Sukarlan juga fokus ke budaya dan identitas Indonesia: ia sering memilih puisi karya penyair Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Goenawan Mohamad, Adimas Immanuel dan W.S. Rendra, yang mencerminkan kekayaan budaya, sejarah, dan perjuangan bangsa. Misalnya, puisi “Karawang-Bekasi” karya Chairil Anwar menginspirasinya karena nilai pengorbanan pahlawan yang terkandung di dalamnya, sementara “Sonet untuk Andy, Pengamen” karya Sapardi mencerminkan kepekaan personal yang mendalam.
Selain itu, Ananda Sukarlan juga terinspirasi oleh puisi penyair Barat seperti Walt Whitman, T.S. Eliot, William Shakespeare, dan Archibald MacLeish, yang menunjukkan kecenderungannya pada karya sastra dengan resonansi emosional dan intelektual yang kuat.
Ia sering kali tidak hanya memusikalisasi puisi secara harfiah, tetapi juga menangkap esensi emosionalnya, seperti saat menggubah puisi Sapardi tanpa menjadikannya syair, karena keindahan puisi sudah tercermin dalam komposisi musiknya.
Dengan pendekatan ini, Ananda tidak hanya menciptakan musik, tetapi juga membangun jembatan antara sastra dan musik, memperkaya pengalaman estetis dan budaya bagi pendengar di Indonesia maupun dunia.