Tidak menggurui, tapi mengajak berjalan bersama.
Ia ajarkan Islam bukan sebagai doktrin kekuasaan,
tapi sebagai jalan cinta dan akal sehat.
Kedua: Ia Menjembatani Agama, Budaya, dan Kemanusiaan
Di tangan Emha, agama tak menakutkan.
Ia bukan pagar, tapi taman.
Ia bukan dinding, tapi jendela.
Puisi dan musiknya bersama KiaiKanjeng
menjadi media zikir yang bisa dinikmati oleh umat Hindu, Kristen, hingga mereka yang tak percaya agama sekalipun.
Emha bukan milik satu kelompok.
Ia milik semua orang yang mencari Tuhan di jalan kejujuran.
Ketiga: Ia Berdiri Ketika Lainnya Duduk, Ia Membela Ketika Lainnya Diam
Saat banyak cendekia diam karena takut,
Emha berdiri di tengah umat.
Ia menegur penguasa dengan puisi,
menyentuh musuh dengan kasih,
dan melawan tanpa membenci.
Ia tak hanya bicara tentang surga,
tapi juga tentang harga cabai, penderitaan buruh, dan air mata nelayan.
-000-
Saya juga terkenang Emha sebagai Intelektual Organik. Apa artinya?
Intelektual organik adalah mereka yang tumbuh bersama rakyat,
bukan dari atas menara gading universitas.
Ia tidak mengutip teori asing semata,
tapi memetik hikmah dari warung kopi, musala, dan jalanan.
Emha adalah contoh langka.
Ia bisa mengevaluasi pemikiran sangat modern dan Jalaluddin Rumi dalam satu tarikan napas.
Tapi ia memilih bicara tentang makna puasa kepada ibu-ibu di lereng Merapi.
Bersama Syeikh Nursamad Kamba, ia mendirikan Maiyah, forum rakyat yang menggabungkan zikir, diskusi, dan puisi.
Di situ, anak punk bisa duduk berdampingan dengan ustaz.
Dan semuanya mendengar satu sama lain, dalam cinta.
-000-
Sudah lama saya mendengar Emha sakit.
Ia tak lagi banyak menulis.
Tubuhnya mungkin lelah,
tapi karya-karyanya tetap berjalan tanpa lelah.
Maiyah—forum yang secara rutin hadir di Jakarta dan daerah lain, dalam suasana spiritual dan kultural yang unik—
masih hidup.
Puisi-puisinya masih dibacakan.
Video ceramahnya masih viral di media sosial.
Anak-anak muda menemukan Tuhan melalui puisinya, bukan dari doktrin keras.
Ia mungkin diam sekarang.
Tapi suara spiritualnya terus mengalir seperti mata air.
Tenang, tapi menghidupi.
Tak gaduh, tapi menembus relung.
Bening.
Di hadapan gunung sunyi AlUla ini, saya menyadari sesuatu.
Sejarah akan mencatat banyak intelektual,
banyak pemikir, banyak penyair.
Tapi hanya sedikit yang menjadi penjaga jiwa bangsanya.
Emha Ainun Nadjib adalah satu dari yang sedikit itu.
Ia bukan hanya menulis.
Ia membasuh luka batin bangsa.
Ia menghidupkan zikir dalam bahasa modern.
Ia menyentuh Tuhan lewat cinta yang manusiawi.