HIDUNG

Cerpen

HIDUNG
Oleh Muhammad Amir Jaya

Di usia separuh abad, hidung saya baru bermasalah. Sangat mengganggu. Dua bau benar-benar menguras energi. Membuat saya pening, cemas dan tak berdaya.

Dua bau itu adalah bau harum dan bau busuk, yang setiap hari hinggap di hidung saya. Lantaran itu, saya lebih banyak mengurung diri di kamar. Bahkan menerima tamu pun saya delegadikan kepada istri.Tetapi kamar juga tidak bisa membuat saya tenang. Saya tetap didera cemas yang berkepanjangan. Seperti kemarin sore, tetangga saya datang bertamu.

Namanya Haji Bandu. Dia mantan pejabat di kota ini. Waktu masih aktif sebagai Aparat Sipil Negara (ASN), Haji Bandu diberi amanah disejumlah dinas sebagai Kepala Dinas. Terakhir dia memegang jabatan sebagai Kepala Dinas PU.

Di perumahan ASRI ini, Haji Bandu sangat dikenal dan dihormati. Rumahnya seperti istana. Dia pun diberi amanah sebagau pengurus masjid dan ketua RW.
Saat duduk di ruang tamu, bau busuk menyeruak kedalam kamar. Saya ingin muntah. Saya tak tahu apakah bau busuk itu bersumber dari tubuh Haji Bandu. Entah.
Namun setiap berdampingan dengan Haji Bandu belakangan ini, hidung saya selalu mencium bau tak sedap.

BACA JUGA:  Teater Modern Membutuhkan Kemampuan Seni Akting yang Prima

“Ada apa dengan hidung saya?”
Pertanyaan itu selalu berkecamuk di dalam pikiran.
Apa yang saya alami, juga membuat istri saya, Saripah, kebingungan. Dia pun menyarankan saya berobat ke dokter.
Hasilnya, hidung saya tidak bermasalah. Dokter Hendry yang saya tempati konsultasi, mengatakan, hidung saya tidak apa-apa.

Aneh. Sangat aneh. Disaat yang lain, ketika saya menyambangi sejumlah anak-anak jalanan di perempatan lampu merah untuk sekadar berbagi, hidung saya mencium mereka dengan bau harum. Padahal mereka mungkin seharian atau seminggu tidak mandi. Terbukti tubuh mereka hitam penuh debu. Rambutnya pun tampak kecoklatan karena tidak pernah dibersihkan dengan sampo. Namun hidung saya justru merasakan sesuatu yang lain yakni bau harum menusuk disetiap desah napas.

Hal yang sama terjadi ketika seorang pengemis tua datang bertamu mengetuk-ngetuk pintu pagar.
“Sedekahnya, Pak. Sedekahnya, Pak,”kata pengemis tua itu.

Di balik pagar, saya mencium bau harum dari tubuh sosok pengemis tua itu.
Bau harum yang menusuk hidung saya itu, tidak membuat hati saya tenang. Justru rasa cemas semakin menggedor sukmaku. Karena saya merasa pasti ada sesuatu yang bermasalah di hidung saya.

BACA JUGA:  Materi Keorganisasian LKPTS Pimda 28 Makassar 

Melihat keadaan dan kondisi saya yang selalu dalam kecemasan, istri saya memberi saran.
“Pasti banyak dosanya. Banyak salat sunat tobat, Pak,” kata istri saya mengingatkan.
Saya tidak menanggapinya. Karena sejak dulu, waktu masih muda hingga sekarang, saya selalu menunaikan salat sunat tobat sebelum tidur. Itu sudah menjadi rutinitas dalam kehidupan saya. Sehingga saya berpikir, semua dosa-dosa saya sudah terampuni.