Membaca Kisah Hidup Fiam Mustamin

Fiam Mustamim
Dahlan Abubakar dan Fiam Mustamin

NusantaraInsight, Makassar — Atas jasa baik sahabat Yudistira Sukatanya (Eddy Tamrin), Ahad (13/4/2025), saya menerima sebuah buku “Misteri Jalan Setapak dan Menanjak” karya Fiam Mustamin.

Saya mengenal Fiam Mustamin sejak tahun 1980-an melalui tulisan-tulisannya di Harian Pedoman Rakyat, media tempat saya berkarier jurnalistik selama 31 tahun, sejak 1976 hingga media tertua yang menjadi panggung informasi Sulawesi Selatan ini lenyap dari pentas sejarah aktivitas media tanah air Oktober 2007.

Buku setebal 462 halaman ini dikemas dengan formasi konten halaman yang tidak lazim. Alif we Onggang, sosok penulis yang siaga di meja editor, mengantar pembaca pada halaman-halaman awal buku dengan memperkenalkan legasi Bugis-Makassar dalam deretan foto.

Di halaman ini ada naskah Bugis yang terbuat dari daun lontar, yang mungkin saja banyak orang selama ini hanya mengenalnya di balik diksi ‘lontarak’, daun lontar berisi tulisan aksara Bugis-Makassar.

Di halaman ini Fiam mengajak pembaca melanglangbuana ke masa lalu, saat Fiam mengakhiri masa lajangnya 1991 melalui foto prosesi pernikahan di Kampung Baru Watanlippue, Tajuncu, Soppeng. Beberapa foto bersejarah warisan masa colonial, seperti Istana Ratu Juliana, ada di halaman-halaman awal ini, yang bisa membawa ruang imajinasi kita ke masa lampau.

BACA JUGA:  10 Januari 2023: Ghania Hafizha Nuraga

Di halaman berikutnya, barulah editor berkisah selintas pintas tentang isi buku ini. Seperti biasa, menyusul halaman sekapur sirih tokoh yang dipilih, dan sosok itu adalah Andi Jamaro Dulung.

Menjelang halaman daftar isi, Fiam berkisah tentang judul bukunya yang sarat metaforis.

“Menulis itu bagai sebuah misteri,” tulis Fiam yang kemudian memilih satu diksi di ujung kalimat itu sebagai kata pertama judul bukunya.

Misteri, sesuatu yang masih belum jelas, agaknya berangkat dari pengalaman dirinya yang lahir dari orang tua yang tuna-aksara, tidak berpendidikan.

Sehingga, menulis yang kemudian ditekuni Fiam, bukan merupakan sebuah warisan yang genetik lantaran sejak kecil dia sudah tidak ber-ayah. Menulis yang ditekuninya sekarang, lebih kepada sebuah ‘pammase’ (hidayah) baginya.

Halaman yang bertajuk ‘Pengantar’ ini mengisahkan secara kronikal kamus hidup Fiam sejak kecil yang diiringi dengan sejumlah foto. Dia berkisah dari waktu ke waktu pengalamannya secara singkat yang dapat memandu pembaca menemukan inti kisahnya pada halaman isi kisah hidupnya pada bagian ketiga (halaman 218). Misalnya, masa kecil di tengah pergolakan gerombolan Darul Islam Indonesia/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Qahar Mudzakkar.