Oleh: Nasrul (Pekerja Buku, Anggota SATUPENA Sulawesi Selatan)
NusantaraInsight, Makassar — Mungkin menyebut nama Bustami Djalid masih kurang akrab di telinga. Namun kalau menyebut Motinggo Boesje pastilah banyak yang kenal.
Motinggo merupakan nama yang diambil dari bahasa Minangkabau “mantiko”. Kata tersebut bermakna bersifat bengal, eksentrik, kocak, dan tak tahu malu. Agar dirinya tidak dimaknai negatif maka Motinggo menambahkan kata “bungo“ (bunga) di belakang nama samarannya itu, sehingga lengkap tertulis Mantiko Bungo (MB). Dari inisial MB inilah akhirnya berkembang nama Motinggo Boesje
Perkara nama pena atau nama samaran (pseudonim) bukanlah sesuatu yang baru. Sejak zaman Romawi, seorang penyair Pubilus Vergilius Maro sudah menyamarkan dirinya menjadi Virgil.
DI Indonesia ketika masih menjadi jurnalis di koran Oetoesan Hindia, Soekarno menggunakan nama Bima untuk menyamarkan namanya. Ada sekitar 500 artikel dan komentar yang ditulis Soekarno menggunakan nama tokoh pewayangan itu. Di lain waktu, ia menyamarkan dirinya dengan nama pena Soemini.
Mengganti nama perempuan menjadi nama pena laki-laki yang fenomenal terjadi pada abd ke-17, ketika penulis Mary Ann Evams mengganti namanya menjadi George Elliot. Tujuannya agar tulisannya dianggap serius, sebab di masa itu tulisan penulis wanita dianggap tulisan yang tidak serius.
Penulis wanita di Indonesia umumnya membuat nama pena dengan menyingkat dari nama asli mereka. Penulis novel Mira W berasal dari Mira Wong (Mira Widjaya). Marga T merupakan singkatan dari Margaretha Tjoa Liang Tjoe. Nh Dini singkatan dari Nurhayati Srihardini. Sementara Asmarani Rosalba menggunakan Asma Nadia menjadi nama penanya.
Nama samaran tak melulu menggunakan nama orang, seperti penulis Darwis yang menggunakan nama pena Tere Liye. Kata ‘Tere Liye” sendiri berasal dari bahasa India yang berarti “Untukmu”, bermakna semua karyanya dibuat “untukmu”. Hal yang sama terjadi pada Remy Sylado yang seolah terdengar bagai tangga nada Re-Mi-Si-La-do.
Yapi Panda Abdiel Tambayong pemilik nama pena Remy Sylado, adalah seorang sastrawan, dosen, novelis, penulis, penyanyi, aktor dan mantan wartawan Indonesia. Salah satu film populer yang pernah dibuat berdasarkan tulisannya adalah Ca-bau-kan dari novel berjudul sama Ca-bau-kan: Hanya Sebuah (1999).
Nama pena yang digunakan di Indonesia untuk berbagai alasan, seperti keamanan politik, identitas budaya, dan gaya.
Penggunaan nama pena terus berkembang seiring waktu dan menjadi bagian dari tradisi literatur Indonesia. (*)