Perjalanan Goenawan Monoharto, Berbagai Peran dalam Sebuket Puisi  

Goenawan Monoharto
Goenawan Monoharto (kanan) dan Rusdin Tompo

Penyair dan sufi, Maulana Jalaluddin Rumi, mengatakan, segala sesuatu akan menunggu, tiba waktunya. Tak ada mawar yang mekar sebelum waktunya. Tak ada matahari, terbit sebelum waktunya. Tunggulah. Segala apa yang akan jadi milikmu akan datang kepadamu.

Mawar itu pula yang jadi objek judul buku Pak Goen. Mawar yang menawarkan keindahan dalam tangkapan lensa dan pandangan mata telanjang. Walau mawar di sini hanya simbolik dari godaan nikmat kehidupan, bukan makna yang sebenarnya.

Bagaimana tidak, dalam makna denotatif saja, mawar yang merupakan tumbuhan golongan tingkat tinggi, punya lebih dari 100 jenis. Bunga yang berasal dari Eropa Timur, China, dan Timur Tengah ini punya warna, corak, dan pola yang terlihat pada kelopaknya.

Jadi, jangan membayangkan mawar seperti yang biasa kita jumpai di halaman rumah, dengan warna merah, kuning, putih, atau ungu. Coba imajinasikan seperti apa rupa jenis-jenis mawar ini: eden, double delight, musk, sunsprite, talitha, putri, mega putih, wild rose, pet austin, hybrid tea, knock out, dan grandifora.

BACA JUGA:  The Last Pepadu Karya Agus K Saputra Menarik Perhatian Kongso Sukoco

Ada pula mawar hasil persilangan yang dikenal sebelum Abad XVII, yang disebut old garden rose. Sementara modern garden rose, yang berkelopak ganda, sudah dikenal sejak tahun 1867. Apakah mawar-mawar itu yang ditawar dari jendela kamar?

Bagi seorang Goenawan Monoharto, objek yang kuat itu perlu. Sebagai fotografer, lensanya akan diarahkan agar menemukan angel yang unik.

Sebagai jurnalis, objek sebagai peristiwa selalu juga punya daya tarik. Begitupun sebagai penyair, peristiwa puitis akan direkonstruksi menjadi larik-larik yang dirangkum menjadi satu karya puisi. Dan tampaknya, ia memainkan berbagai peran itu dalam puisi-puisinya.

Ia mengajak kita ke Losari, Toraja, Kyoto, Manhattan, hingga Yerusalem. Ia berkisah, sesekali dalam bahasa Makassar, yang kita pahami, layaknya obrolan di kafe atau warkop.

Ia mengajak kita merawat tradisi, seperti rambu solo’, ma’badong, tunrung pakanjara, dan pakarena. Ia tak hanya menawarkan secangkir kopi untuk diseruput dalam puisinya, tapi juga menyodorkan biji-biji kopi sebagai uluran persahabatan dalam kehidupan nyata.

Diplomasi biji kopi ini, terasa ganjil, tapi tetap jadi pengingat, sebagaimana kita membaca buku-buku terbitan de La Macca.

BACA JUGA:  KORUPSI DI BUMI MAYA

Secara iseng, saya menelaah angka-angka dalam buku puisi ini. Secara kuantitas, terdapat 9 kali kata “mawar” muncul, dan 7 kali frasa “jendela kamar” digunakan.

Puisi pertama yang ditampilkan Pak Goen, bertanggal 25 Maret 2023, atau hanya berselang 4 hari dari tanggal lahirnya, 21 Maret 1957. Sedangkan puisi terakhir yang disertakan dalam buku, yakni bertanggal 25 Juni 2024.